CHAPTER 38 [SUDAH REVISI]

6.4K 366 28
                                    

Makasih banyak ya buat komen dan dukungannya melalui voting, seneng banget jadi makin semangat buat lanjutin cerita ini 🙏

.

.

.

Malamnya Ummi mengundang kami berdua untuk makan bersama dirumahnya. Katanya Abi habis beli sate setelah pulang dari Sukabumi. Namanya diminta datang sama orangtua, masa iya kita nolak. Apalagi cuma jalan beberapa langkah aja dari rumah Ibu. Semager-magernya seorang Naya kalau diundang untuk acara makan-makan udah pasti langsung gas.

Satu fakta unik yang baru aku tahu adalah kalau ada acara makan-makan begini, semua orang rumah yang bekerja di rumah Ummi dan Abi diajak makan bersama dalam satu meja makan tanpa dibeda-bedakan sama sekali. Menurut informasi dari mas kacang ijo, tradisi di keluarganya memang begitu. Kalau bawa makanan untuk orang rumah artinya untuk semua yang bantu kerja disini juga.

Apalagi kalau ada tamu, diperlakukan bak raja dan ratu sekali dirumah ini. Makanya tetangga manapun kalau berkesempatan datang ke rumah Abi dan Ummi betah banget. Datang sewaktu lapar, pulang-pulang bisa kenyang.

Luar biasanya lagi, semisal lagi makan diluar, kadang orang jalanan yang berada di sekitar tempat makan itu juga ikut diajak makan bersama tanpa menghilangkan momen dengan keluarga. Budaya yang diajarkan sama Abi dan Ummi itu turun ke semua anak-anaknya, termasuk si Fardan Furdin.

Jadi aku gak heran lagi kalau tiba-tiba do'i suka random traktir orang-orang di jalanan. Bahkan do'i banyak disenangin sama anggota-anggotanya. Ya... karena suka traktir. Otomatis mereka juga jadi hemat budget. Ke orang lain aja bisa segitu royalnya, apalagi sama istri sendiri. Itulah salah satu hal yang aku pertimbangkan sebelum menikah dengan si Fardan Furdin. Dia bukan orang yang pelit. Masa iya nanti kalau minta apa-apa sama suami jadi sungkan karena pelit dan perhitungan? Padahal suami-istri adalah pasangan seumur hidup.

Jadi inget pertama kali do'i ngisi bensin untuk motorku yang mogok dipinggir jalan. Padahal kita belum sedekat itu. Tapi bisa-bisanya dia sedekah bensin ke orang asing.

Begitulah kalau punya rejeki nomplok, duitnya gak habis-habis karena sedekahnya juga gak berhenti-berhenti.

Dari keluarganya si Fardan Furdin aku jadi belajar bahwa semakin banyak kita berbagi gak akan membuat kita miskin, baik itu miskin harta, miskin hati, ataupun miskin pikiran alias mumet. Secara gak langsung justru membuat hati kita tenang, bahagia, dan dapet rasa syukur juga karena masih dikasih kehidupan yang lebih baik dari banyak orang disekitar kita.

Makan malam kali ini dihadiri oleh Abi dan Ummi pastinya, aku, si Fardan Furdin, Haikal, Bi Atik (ART) dan Pak Nasrul. Minus Mbak Fira dan keluarga.

Bi Atik dan Pak Nasrul termasuk orang yang paling lama bekerja dengan Abi dan Ummi. Mereka bukan suami istri. Cuma Bi Atik yang tinggal di rumah ini, sedangkan Pak Nasrul akan kembali pulang ke rumahnya setelah seharian bekerja. Selain mereka berdua juga ada beberapa yang lain, tapi cuma beberapa kali dalam seminggu datang ke rumah. Aku gak bisa absenin satu persatu. Pokoknya yang udah aku kenal ya Bi Atik dan Pak Nasrul karena mereka lebih sering menampakkan diri.

Abi dan Ummi gak memberikan batasan terhadap atasan dan majikan, jadi semua pun bisa saling akrab selayaknya keluarga.

"Pak Nasrul. Saya beli sate banyak, nanti bawa ya buat anak dan istri dirumah. Sudah dipisahin tadi," kata Abi.

"Iya, Pak. Makasih banyak," jawab Pak Nasrul sambil mengangguk.

"Ayo, dimakan yang banyak. Naya makannya tambah lagi! Satenya masih banyak. Gak usah takut kehabisan, nanti Haikal sama Fardan bisa beli lagi," lanjut Abi.

My Husband is My NeighborTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang