CHAPTER 34 [SUDAH REVISI]

5.3K 374 59
                                    

Waktu persalinanku semakin dekat, dokter kandungan yang menanganiku sudah memberi warning untuk aku bersiap-siap menjalankan operasi caesar. Meskipun harapanku bisa lahiran secara normal karena pemulihannya lebih cepat. Tapi apalah daya kemungkinan besar melahirkan anak kembar adalah caesar.

Perlengkapanku dan bayi udah aku packing dengan rapih. Dibantu ibu dan ummi, kebutuhan bayi-bayi ini lengkaplah sudah. Meskipun gak ada satu pun barang yang khusus dibelanjakan langsung olehku dan si Fardan Furdin secara bersama-sama karena sampai saat ini dia masih belum pulang juga.

Sedih banget pasti kalau pas melahirkan gak ditemani sama pak su. Padahal melahirkan kan pertarungan hidup dan mati. Ya iya kalau masih hidup, kalau nantinya menghembuskan nafas terakhir?

Lagipun perempuan mana yang gak deg-degan melahirkan anak pertama? Maka dari itu, kami -para perempuan- butuh support dan kehadiran dari para suami.

Ya allah Fardan Furdin... cepet kek pulaaaannngggg!!! Betah amat sih diluar sana? Gak pengen gendong anak lo, nih?

"Permisi... Pakeeet..."

Suara kurir paket mengantarkan langkahku menuju ke depan pintu. Aku gak pesan COD, jadi si kurir bergegas pergi lagi setelah menaruh paket didepan rumahku.

Setelah paket itu ada ditanganku, aku berniat untuk masuk lagi ke dalam rumah. Baru dua langkah aku berjalan, suara pintu pagar terbuka membuatku menoleh kebelakang.

"Assalamu'alaikum," ucapnya sambil memberi hormat dan menampakkan bibirnya yang mengukir senyum. Tubuhnya berdiri tegak dengan seragam lorengnya yang masih lengkap dan tas besar dipundaknya. Persis kayak prajurit yang baru pulang dari melaksanakan tugasnya.

MAS FARDAN!

Aku meneriakkan namanya, lalu tanpa sadar menjatuhkan paket yang ada ditanganku untuk segera berlari ke dalam pelukannya.


























Aku meringis membayangkan adegan tersebut.

Hidup ini memang penuh drama, tapi aku gak mau bertindak dramatis.

Lebay!!

Ini bukan sinetron.

Faktanya paket masih aku genggam dengan baik dan eskpresiku menyambut kepulangannya si Fardan Furdin juga masih datar.

Sebentar-sebentar! Aku gak bisa sedikit aja menampilkan ekspresi kaget, ya? Terharu dikitttt... aja gak bisa?

Yang ada aku justru malah bengong. Kemana rengekan-ku yang meminta dia kembali pulang?

Saking gemesnya si Fardan Furdin yang menghampiriku duluan untuk menepuk pundakku supaya sadar, "Hei, assalamu'alaikum!"

"W-wa'alaikumussalam."

"Mbak istri saya, bukan?"

Pertanyaan gak bermutu.

YA PIKIR AJA SENDIRI, GUE ISTRI LO ATAU BUKAN? AMNESIA LO?

Astaghfirullah... sabar... sabar...

Mana tahu memang ada yang salah sama otaknya si Fardan Furdin, kan? Mari berhusnudzon!

Pertanyaan yang konyol ya ku jawab lagi dengan jawaban yang konyol, "Loh, mas-nya siapa? Suami saya, bukan?"

Si Fardan Furdin lalu terkekeh dan langsung memelukku tanpa diminta.

Dih, sok akrab!

Jangan kira aku langsung menyambut pelukan hangatnya dan ternyata itu membuatnya protes, "Kok, aku gak dipeluk?"

My Husband is My NeighborTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang