05 - Takahashi Family

1.5K 165 13
                                    

Petang mulai menyapa. Cahaya mentari jingga mewarnai langit dengan awan putih yang berarak di langit kemerahan. Para ibu dan anak perempuan mulai memasak di dapur untuk makan malam sederhana di rumah mereka. Anak laki-laki serta ayahnya asyik bercengkerama di depan televisi, menonton tayangan animasi yang jam tayangnya baru saja dimulai.

Kehangatan tersebut mengingatkan Ran Takahashi akan masa kecilnya, di mana ia akan selalu pulang saat hampir malam setelah bermain voli bersama teman-temannya dan juga kakaknya, Rui Takahashi. Ayahnya akan mencarinya dan ibunya berkacak pinggang dengan apron berwarna kuning di depan pintu rumah. Ran dan Rui yang masih anak-anak hanya bisa bersembunyi di balik kaki ayahnya, takut dimarahi sang ibu.

Ran tersenyum tipis mengingat kejadian saat itu. Ia ingat saat di mana Rui selalu mengajaknya untuk bermain voli namun ia selalu menolaknya. Saat pagi menyambut, ia harus bangun cepat dan latihan voli bersama Rui. Hal tersebut selalu dilakukan hampir setiap hari.

Namun siapa yang menyangka, ternyata bocah laki-laki yang dulunya tidak mau latihan voli dengan kakaknya, kini menjadi salah satu bintang di tim nasional voli Jepang. Ia sendiri tidak menyangka bahwa perjuangannya selama ini akhirnya membuahkan hasil yang tidak ia kira sebelumnya.

"Ada apa denganmu? Kau sudah berdiri di sini selama 20 menit."tiba-tiba Rui datang dan membuyarkan lamunan Ran di depan jendela kamarnya di lantai dua rumahnya.

"Dulu kau selalu menarikku ke taman setiap sore, entah itu bermain voli atau sepak bola, sangat melelahkan, lalu kita pulang dengan wajah yang kotor."Ran terkekeh mengingat memori masa kecil yang terlintas di benaknya.

"Kau selalu menangis setiap ada yang merebut bolamu."Rui menambahkan dan ikut tertawa.

"Paling tidak aku pulang dengan baju yang masih bersih dan ibu tidak harus mencucinya dua kali."Ran mengangkat sedikit dagunya, merasa bangga karena bajunya tidak selalu kotor seperti Rui saat mereka masih di bangku sekolah dasar.

"Hei tidak perlu diingatkan tentang itu."Rui melingkarkan lengan di leher adiknya dan mereka tertawa bersama sembari kembali bernostalgia hingga Anry memanggil mereka untuk bergabung di meja makan.

"Ayolah, kalian berdua ini tidak jauh beda seperti saat masih anak-anak."sahut Anry saat melihat kedua sepupunya itu asyik bercengkerama. "Makan malam sudah siap, cepat bergabung ya."Anry kemudian meninggalkan kamar tidur Ran, menuruni tangga dan menuju ruang makan di belakang ruang keluarga.

Ran dan Rui pun segera turun dari lantai dua, namun mereka terlihat saling menghalangi untuk turun dari tangga, menyelipkan candaan dan tertawa puas saat Rui berhasil dihalangi Ran di undakan tangga paling bawah.

"Kalian berdua cepatlah, makan malamnya akan dingin."Anry kembali memanggil mereka lantaran kedua saudara itu tidak kunjung duduk di kursi. Keduanya kemudian tiba dan langsung duduk di kursi yang telah tersedia. Riri Takahashi duduk di samping Anry, sementara di depan mereka ada Rui dan Ran, lalu di kedua ujung meja ada Tuan dan Nyonya Takahashi.

Setelah mengucapkan selamat makan, suasana ruang makan mulai hening. Tampak Rui dan Ran makan dengan lahap, sementara Anry yang melihatnya hanya bisa menghela napas melihat kelakuan kedua sepupunya itu. Tuan Takahashi sampai mengingatkan untuk makan dengan pelan. Keduanya kemudian hanya nyengir lalu akhirnya makan dengan pelan dan sopan seperti yang lainnya.

"Ran, tidak perlu terlalu dipikirkan, kau sudah berusaha sebaik mungkin."Nyonya Takahashi membuka obrolan kecil-kecilan, melihat anak laki-lakinya yang baru saja mengikuti ajang olimpiade dengan atlet profesional lainnya. "Ini menjadi pelajaran dan pengalaman untukmu. Ibu yakin kau bisa melaluinya."

Ran mengangguk kecil lalu melanjutkan makannya. Sebenarnya ada hal lain yang mengusik pikirannya, bukan hanya tentang permainan mereka kemarin. Hanya Anry yang mengetahuinya dan ia berharap Anry tidak memberitahukannya.

"Ada apa, Ran? Apa ada sesuatu yang mengganggu perasaanmu?"Tuan Takahashi menyadari anak laki-laki berusia 19 tahun itu tengah berada dalam konflik di lubuk hatinya, ia dapat melihat sorot mata Ran yang tidak seperti biasanya.

"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja, Ayah..."Ran terlihat lesu saat itu juga. Ia lalu menyelesaikan makan malamnya, mengucap terima kasih, kemudian beranjak dari kursi menuju kamarnya.

Ayah dan ibunya saling melempar pandang, begitu juga dengan Rui dan Riri. Hanya Anry saja yang melanjutkan makan malamnya dengan tenang sembari mencari cara agar Ran tidak galau.

***

"Aku menyarankan kau hubungi dia. Aku yakin saat ini perempuan itu merasa bingung dan kaget. Apa yang kau ragukan?"Anry duduk di kursi meja belajar sementara Ran berbaring di atas tempat tidurnya. "Apa kau ada melihat foto wajahnya di postingan Instagram?"lanjut Anry.

"Tidak ada, perempuan itu sepertinya jarang mengunggah foto dirinya. Ia hanya mengunggah foto pemandangan dan novel yang sedang ia garap."Ran menutupi matanya dengan lengan kanannya.

Anry menukikkan alisnya. "Apa ia seorang penulis?"

"Bisa jadi."Ran seketika bangun dan duduk di pinggir tempat tidur. "Aku melihat salah satu postingannya, beberapa buku bahasa asing, laptop, dan juga secangkir teh. Aku menyimpulkan ia mungkin seorang penulis atau juga seorang pekerja kantoran."

Anry semakin tertarik dengan pembicaraan mereka, ia pun memindahkan kursi yang ia duduki tepat di depan tempat tidur Ran. "Sepertinya kau begitu penasaran dengannya, kau bahkan memeriksa isi postingannya."

Spontan kedua mata Ran membulat dan pipinya memerah. Kehangatan menjalar di sekujur tubuhnya saat Anry ternyata menyadari apa yang ia lakukan. Perempuan itu menahan tawanya saat wajah Ran Takahashi perlahan memerah bagai kepiting rebus.

"Kau tidak ahli untuk menyembunyikan perasaanmu, aku mengenalmu sejak kecil."Anry menonjok pelan lengan Ran yang tertutupi kaos berwarna putih. "Lakukan saja, itu tidak akan merugikanmu."

Anry kemudian beranjak dari kursi dan berjalan menuju pintu. Langkahnya terhenti sebelum ia meraih knop pintu.

"Aku akan menginap di sini selama dua hari. Kalau kau kesulitan untuk menghubungi gadis itu, aku akan membantumu."Anry lalu membuka knop dan menutupnya kembali, meninggalkan Ran yang masih terduduk dengan perasaan yang campur aduk. Pria dengan darah blasteran itu menundukkan kepalanya sembari memandang layar ponselnya yang menyala. Ribuan notifikasi masuk dan tidak ia hiraukan. Sesekali ia mengecek kembali apakah gadis itu ada mengirimnya pesan namun ternyata nihil.

Ran Takahashi sudah membuka direct message gadis itu. Ia tidak tahu gadis itu berasal dari mana dan berapa usianya. Jika dilihat dari foto profilnya yang hitam putih dan sedikit blur, Ran memastikan gadis tersebut sepertinya seumuran dengannya–mungkin berbeda 1-2 tahun.

Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia begitu grogi akan hal ini. Ini pertama kalinya ia melakukan kesalahan terhadap salah satu gadis yang menjadi penggemarnya. Rasa bersalah benar-benar ia rasakan di dalam dirinya.

"Ayolah Ran Takahashi, jangan jadi pecundang."ucapnya kesal. Kedua jempolnya bahkan sudah siap mengetik permintaan maaf untuk gadis dengan nama [L/N] di profil akunnya. Ia begitu sulit untuk menelan salivanya, kedua tangannya bahkan gemetar karena ia terlalu gugup.

Setelah menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya, Ran Takahashi mulai mengetik beberapa kalimat permintaan maaf dalam bahasa Jepang. Ia berharap gadis itu tidak langsung membaca dan membalasnya karena saat ini ia tidak bisa membayangkan apa yang harus ia lakukan setelah itu. Namun, sepertinya harapan Ran saat itu pupus dan kedua matanya membulat lebar beberapa detik setelah pesannya terkirim.

[L/N]

Typing...

Dopamine | Ran Takahashi x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang