47 - Double Sushi Date

420 47 1
                                    

Ran sebelumnya tidak pernah berada di ruangan kedap suara tanpa jendela kecuali ventilasi kecil di dekat langit-langit. Ruangan berukuran 4 x 4 meter dengan satu meja dan dua kursi cukup menegaskan bahwa Ran sedang di dalam ruang interogasi. Ran bak seorang tersangka dalam sebuah kasus kejahatan di film-film Hollywood. Pria itu menyadari dadanya naik-turun tak stabil. Kegugupan mengurung dirinya yang tidak berdaya. Ia tidak siap mendengar hukuman apa yang akan ia jalani setelah turnamen yang sedang berlangsung. Ran tidak mengindahkan larangan Blain untuk tidak keluar asrama sembarangan di kala namanya sedang naik daun. Dampaknya kini masalah lebih berat akan berhadapan dengannya.

Secangkir teh hijau di depannya sudah suam-suam kuku dan Blain belum muncul dari balik pintu besi di samping. Tepat setelah sarapan tadi, ia menuju ruang yang dimaksud dan sudah menunggu hampir dua puluh menit. Tidak ada sedikit pun rasa mencicipi seduhan teh hijau sejak awal ia masuk. Apa yang ia pikirkan saat ini berkaitan erat dengan kariernya. Ran tidak bisa membayangkan semarah apa Anry, Rui, serta orang tuanya atas kesalahan dirinya.

Pintu besi abu-abu berderit saat dibuka oleh seseorang. Ran menegakkan duduknya, memasang ekspresi kaku. Pria berambut putih duduk di seberang Ran yang mengendurkan bahunya. Tak ada amarah tersirat di wajah Blain, tetapi entah dengan hatinya yang mungkin memanas karena kelakuannya.

"Ran, langsung saja, apa kau masih ingin bermain di tim A?" Blain langsung menembak pertanyaan dengan tegas. Ran tidak mengira akan disembur dengan pertanyaan yang menyayat hatinya begitu saja. Ia tidak bermaksud menganggap tim B tidak sekuat tim A. Hanya saja, ia baru merilis kariernya di tim A. Ia dipercayakan masuk ke tim A karena kemampuannya yang setara dengan Yuji dan Yuki.

Ran lantas menggeleng pelan. "Coach, saya ingin selama mungkin bermain di tim A. Saya tahu tim B bukan tim yang buruk, tetapi ... saya sudah memiliki ikatan batin dengan tim A." Ran menghela napas berat. Ia meremas-remas tangannya di bawah meja layaknya tersangka yang diborgol. Beberapa kali ia membasahi bibirnya, mencoba melenyapkan aura ketegangan di sekitarnya.

Blain melepas kacamatanya. "Dengarkan aku, Ran. Satu-satunya alasan kau berada di tim A adalah karena pengalaman disertai prestasimu sejak kau masih sekolah. Aku melihatmu di pertandingan antarsekolah, dan kau sudah kutandai saat itu sebagai calon anggota tim A. Kini, kau pertama kalinya membuat kesalahan yang melibatkan orang luar," ceramahnya datar. Ia menangkupkan tangan di atas meja. "Aku tidak melarangmu berpacaran. Tetapi tolong, jangan sampai hal itu membawa kau dan [Y/N] ke sebuah masalah."

"Coach, bahkan sebelum aku berpacaran dengan [Y/N], wanita itu sudah mengusikku, lalu mengusik [Y/N] tanpa tahu apa yang terjadi. [Y/N] jauh-jauh datang ke Jepang bukan untuk diganggu." Ran berkata dengan menggebu-gebu. Sebisa mungkin ia menahan emosinya di depan Blain.

"Sharon Shavronka yang mengusik, kan?" tanya Blain.

"Benar. Aku prihatin dengan [Y/N], baru tiba di Jepang tetapi sudah ada orang yang ingin menjatuhkannya." Ran menyingkat penjelasan. Blain sebenarnya sudah tahu secara keseluruhan mengenai kejadian sekarang. Ia tahu siapa Sharon Shavronka dan siapa keluarganya. Rekaman kamera pengawas memperkuat bukti bahwa [Y/N] sudah di ambang batas kesabaran menghadapi teror dari Sharon. Tak lupa rekaman kamera pengawas di gerbong kereta saat Ran menjatuhkan Isamu.

"Pihak asosiasi sudah menghubungi Keluarga Shavronka pagi ini. Kami meminta untuk sementara waktu, Sharon Shavronka tidak diperbolehkan bertemu dengan kau dan kekasihmu-"

"Selamanya," potong Ran dengan suara bergetar. Lidahnya kelu melanjutkan seuntai kalimat permohonan demi dirinya dan [Y/N]. "Saya sangat memohon, jangan sampai Sharon bertemu kami berdua lagi. Sudah cukup dia menyakiti [Y/N] dan merusak reputasi saya sebelumnya. Saya akan lebih senang dia cepat pergi ke Paris untuk sekolah modelnya," pinta Ran, rahangnya mengeras dan kepalan tangannya semakin kuat. Blain tidak bisa membantah kemauan Ran karena ini semua demi kenyamanan mereka juga.

Dopamine | Ran Takahashi x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang