36 - Argument

592 101 1
                                    

Ran duduk memandangi perkotaan dari lantai empat asrama atlet. Di lantai empat terdapat kafe mungil dan menyediakan minuman beraneka ragam tanpa kandungan alkohol. Kafe tersebut juga menjadi tujuan melepas penat para atlet sehabis bertanding. Interiornya tidak terlalu ramai. Ornamen huruf kanji menghiasi dinding kafe. Tidak lupa meja dan kursi dengan furnitur khas Jepang yang didominasi unsur kayu.

Selepas menghubungi Rui yang sedang bersama [Y/N], Ran sedikit lega. Walaupun namanya sedang naik-naiknya dan disuguhi bersama gosip terbaru yaitu Sharon yang sedang menyindirnya, ia tetap bergeming. Itu keputusan dia untuk memutus pertemanan dengan Sharon walau mereka berteman sejak lama.

Saat ini, Ran hanya memfokuskan hatinya untuk [Y/N] seorang. Gadis polos itu tidak semenonjol perempuan lain yang memamerkan kecantikan mereka untuk menarik perhatian Ran. Ia pernah di posisi saat di mana ia menilai perempuan-perempuan itu cantik. Namun lama-kelamaan ia mulai jenuh saat semakin lama ternyata orang-orang itu hanya menginginkan statusnya.

Ran tidak tahu siapa yang memotret mereka malam itu, namun ia tahu siapa pelakunya. Meski belum ada bukti konkret, tapi firasatnya tidak akan salah. Ia juga tidak akan mencari sosok orang itu. Semakin dibiarkan, maka orang itu akan kesal. Ran sengaja fotonya dengan [Y/N] pelan-pelan tersebar dan diketahui seluruh dunia. Toh, karena [Y/N] pacarnya juga.

"Ran."

Suara bariton itu mengagetkan Ran yang melamun di kursinya. Sosok pemilik suara lalu duduk di kursi sebelah Ran yang terpisah oleh meja bundar. Ran memperbaiki posisi duduknya, sedikit menyerong ke kiri.

"Iya, coach."Ran merespon pelan. Ia tahu apa yang akan dibicarakan oleh pelatihnya ini.

Kening Blain mengerut melihat wajah murung Ran. Biasanya anak muda itu memasang wajah berseri dan penuh semangat. Blain melihat segelas jus di dekatnya. Jus itu masih penuh dan belum disentuh Ran sama sekali.

"Perempuan itu ada di sini 'kan?"tidak tanggung-tanggung lagi, Blain langsung menembak pertanyaan utama. Wajah Ran langsung terangkat. Ia sengaja tidak memberitahu pelatihnya karena segan dengan aturannya.

"Yuki memberitahuku setelah foto kalian sekarang menyebar. He, aku tidak menyangka penggemarmu akan seheboh itu."

Tidak ada intonasi tinggi seperti kemarin. Kali ini cara bicara Blain lebih halus dan terselip gelak tawa.

"Apa saya akan dimarahi, coach?"Ran teringat dengan larangan Blain agar tidak bertemu dengan siapa pun, namun Ran menyalahinya.

"Aku sebenarnya ingin memarahi dan menghukummu, namun rasanya tidak tega memarahi pemuda yang baru saja dikunjungi pacarnya yang beda negara dengannya."

Ran tertunduk malu. Ia ingin mengomel ke Yuki karena membocorkan tentang [Y/N] pada pelatih mereka.

"Maaf, coach. Saya tidak akan mengulanginya sampai hari pertandingan selesai."Ran menyadari dirinya salah dan meminta kesempatan kedua. Lagi-lagi Blain terkekeh dengan permohonan Ran.

"Ran, aku tidak bisa melarang pacarmu menonton pertandinganmu. Aku hanya ingin saat ini sampai pertandingan selesai, kalian jangan bertemu di luar arena pertandingan. Banyak orang-orang stasiun televisi yang tidak tahu aturan akan menyambar privasi kalian. Itu saja yang aku takutkan."Blain duduk menyerong agar dapat melihat Ran yang tertunduk.

Ran masih dengan kepala tertunduk. Wajar saja jika Ran tidak sabar bertemu dengan [Y/N]. Sebagai pasangan yang berasal dari negara berbeda, Ran ingin bertemu [Y/N] dan kencan dengannya seperti pasangan-pasangan lain. Malam itu menjadi malam pertama bagi Ran dan [Y/N] berjalan beriringan.

"Saya paham, coach. Saya tidak akan mengulanginya lagi."

Blain mengangguk, tanda obrolan mereka selesai, sesingkat itu saja. Blain menyuruh Ran untuk langsung pergi beristirahat di kamar setelah dari kafe. Pelatihnya itu keras terhadap atlet-atletnya agar stamina mereka terjaga.

Dopamine | Ran Takahashi x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang