48 - Truth about The Shavronka

504 53 4
                                    

Dua cangkir teh hangat yang baru disajikan menjadi pemecah keheningan mereka berdua di lounge hotel yang sepi dan tenang. Hanya terdengar alunan musik piano dari seorang tamu yang iseng memainkan sepenggal potongan musik klasik. Lantunan grand piano di dekat lift menghantarkan suasana megah dan teduh bagi para tamu yang berlalu-lalang. Seluruh ruangan terbungkus melodi menenangkan dari pianis yang begitu mendalami tarian jari di atas tuts piano. Para tamu tidak tahu apa nama musik yang dimainkan, tetapi mereka menikmati kenikmatan mahakarya komposer terbaik pada zamannya.

Sementara itu, [Y/N] duduk dengan kedua tangan tertangkup di atas pahanya di hadapan Shasha Shavronka yang menunduk, terpisahkan oleh tengah meja dan tidak satu pun di antara mereka membuka obrolan. [Y/N] tidak tahu mau bertanya apa karena Shasha yang lebih dahulu menegurnya. Jocelyn harus kembali ke kamarnya karena baru saja mendapat telepon dari ayahnya. Kini, [Y/N] dan Shasha saling diam untuk beberapa saat.

Saat pianis muda itu menyelesaikan permainannya, gemuruh tepuk tangan bergaung di lobi hotel dengan langit-langit yang tinggi. Pemuda itu membungkuk-berterima kasih. Pemuda itu lalu masuk ke lift bersamaan beberapa tamu. Kini suasana hotel kembali seperti semula, menyisakan suara orang-orang berbicara serta sepatu yang beradu di lantai marmer cemerlang.

"Nah, Shasha." [Y/N] memutuskan membuka suara setelah alunan musik dari piano terhenti. "Apa yang ingin kau bicarakan?" [Y/N] mengubah posisi duduknya; menumpuk kaki kanan di atas kaki kiri. Jemarinya yang saling mengait ditumpuk di atas paha. Tubuhnya yang duduk tegap menandakan ia siap mendengar apa yang ingin dicurahkan Shasha.

"Aku memarahinya malam itu." Shasha menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya. "Ia mengadu ke orang tua kami bahwa ia telah diganggu oleh seseorang di peron. Ia memaksa ingin melapornya ke kantor polisi setempat. Kebetulan saat itu posisiku ada di rumah dan mendengar semuanya." Shasha mengatur napasnya sedemikian stabil. [Y/N] sadar ada gejolak emosi yang mengendap di hati Shasha.

"Suasana di rumah sangat ribut oleh kelakuannya yang sok berkuasa. Ia memaksa ingin melaporkannya ke kantor polisi, lalu menghapus video di peron dan melakukan playing victim. Namun, aku langsung menamparnya detik itu juga."

[Y/N] terbelalak dengan pengakuan Shasha. Sungguh, [Y/N] mengerti apa yang dirasakan Shasha. Memiliki adik dengan tingkah keterlaluan bisa mempermalukan nama baik keluarga dan memutus koneksi dengan beberapa mitra yang bekerja sama dengan keluarga Shavronka. Tak heran kalau Shasha sudah kehabisan kesabaran dan mewakilkan diri untuk menampar adiknya.

Shasha menyeruput teh yang masih mengepulkan asap. Dari sorot matanya sudah menyiratkan rasa lelah terhadap perlakuan adiknya. Meski mereka memiliki wajah yang hampir serupa, tetapi sifat mereka sangat bertolak belakang. Tidak perlu dipertanyakan Shasha tampak seperti memendam sesuatu yang belum ia keluarkan.

"Oh ya, [Y/N]. Kau mau tahu sesuatu yang bisa membuat kau kaget?" tanya Shasha setelah meletakkan kembali cangkir dengan tulisan nama hotel di atas piring kecil, menyoroti [Y/N] yang duduk elegan.

"Hm? Apa itu?"

"Sharon adalah saudari tiriku."

[Y/N] terhenyak di kursinya. Barusan Shasha mengakui hal yang tidak pernah [Y/N] kira sebelumnya. Gadis itu memandang Shasha penuh pertanyaan. Ia tidak percaya jika keduanya bukan saudari kandung. Mereka memiliki bentuk wajah yang mirip dan jika orang-orang tidak teliti, mungkin mereka akan disangka kembar. [Y/N] meremas ujung jaket bulu yang ia kenakan. Sensasi aneh mengalir di dadanya. Bisakah Shasha dipercaya? Atau ia hanya memainkan perannya agar [Y/N] yakin Shasha tidak memihak Sharon?

"Shasha, aku rasa tidak baik kau begitu terhadap adikmu meski dia kurang ajar," ucap [Y/N] pelan, menganggap pengakuan Shasha sebuah candaan sesaat. Namun, netra sayu wanita Rusia itu tak bisa dibohongi.

"Itulah alasanku tinggal di Rusia ketimbang Jepang. Dahulu, ayahku menikahi wanita berdarah Rusia-Jepang, lalu lahirlah aku sebagai anak pertama. Saat aku masih bayi, ternyata ayah dan ibuku bercerai dan tak lama kemudian ayahku menikahi ibu Sharon, seorang wanita asli Jepang." Shasha menjawab luwes. Ia yakin [Y/N] sendiri perlu waktu untuk mencerna pengakuannya. "Kau pasti sebelumnya pernah dengar kalau Sharon adalah putri tunggal dari seorang pengusaha butik."

[Y/N] mengangguk ingat. Saat sedang mencari siapa sosok Sharon Shavronka bersama Jocelyn beberapa waktu lalu, mereka menemukan fakta tersebut di kanal berita media luar; seorang putri tunggal dari pengusaha butik terkenal dan penyanyi lawas Jepang yang berprofesi sebagai model. [Y/N] pun berspekulasi dengan sosok Shasha yang sengaja tidak disorot media massa agar keluarga Shavronka tidak terlalu terekspos, atau karena Sharon sendiri yang membuat nama keluarganya terkenal. Mengingat sifat dan tingkah laku Sharon yang gemar menarik perhatian orang-orang, tak menyurutkan wartawan dan jurnalis setempat mencari tahu latar belakangnya.

"Tenang saja, [Y/N]. Aku masih dianggap anak, kok. Bahkan ibunya Sharon lebih sering membelaku." Shasha memotong kue yang ia pesan sebelumnya. Percakapannya dengan [Y/N] malah berangsur santai, walaupun sebelumnya hanya ingin membicarakan Sharon.

"Maaf. Aku malah berpikir karena kau tinggal di Rusia, makanya kau seakan tidak diperhatikan kedua orang tuamu." [Y/N] menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Apa itu memang murni keputusanmu untuk menetap di Rusia?" lanjut [Y/N].

"Benar. Aku tidak berniat mengganti kewarganegaraanku. Urusannya akan repot. Lagi pula, aku punya beberapa bisnis yang kugeluti di kotaku," jawab Shasha cukup bersemangat. Karena usia yang tidak lagi muda, mungkin ia bodoh amat dengan yang namanya tinggal bersama orang tua. Apalagi ayahnya menikah dua kali saat itu.

"Ngomong-ngomong, kau bisa menyimpan nomorku jika sewaktu-waktu ada perlu." Shasha menaruh kartu namanya di atas meja dan mendorongnya ke hadapan [Y/N]. Tulisan yang tertera menggunakan bahasa Rusia. Hanya nomor telepon Shasha saja yang bisa [Y/N] baca. Tampaknya Shasha seorang pengusaha terkenal di kotanya, ditilik dari desain kartu namanya yang cantik.

"Aku dan Lenne masih tinggal di Tokyo untuk beberapa waktu. Entahlah, liburan kami cukup terhambat karena adikku yang sialan itu," umpat Shasha dan diselingi tawa. Shasha berdiri lebih dahulu, membenarkan posisi tali tas di bahunya.

"[Y/N], apa pun yang terjadi, aku hanya mendukung Ran denganmu. Sampai jumpa." Shasha melambai cepat lalu melewati pintu hotel. [Y/N] melihat dari dalam hotel sebuah mobil JDM (Japanese Domestic Market) yang dimodifikasi sedemikian rupa terparkir di depan hotel. Beberapa orang terpana dan memotret diam-diam saat mobil itu mulai meraung. Petugas hotel membantu membukakan pintu untuk Shasha. Tidak terlihat siapa pengemudinya, tetapi si pemilik mobil pasti merupakan anggota dari klub JDM yang ramai diperbincangkan.

Lift berdenting lalu sosok Jocelyn keluar dengan membawa camilan. Kepalanya menoleh mencari keberadaan Shasha yang sudah tidak bersama [Y/N].

"Baru saja dia pergi, dijemput seseorang." [Y/N] membunyikan jarinya. Suasana hatinya lebih baik setelah mengobrol dengan Shasha. "Kau mau ke mana hari ini? Rasa ngantukku hilang." [Y/N] melirik Jocelyn telah mengganti pakaiannya. Gadis oriental itu mengangkat bahu. "Tak ada, hanya mengganti pakaian. Bagaimana kalau kita jalan ke mal?" usul Jocelyn cepat. "Kalau saja ada yang ingin kau beli. Ayo berangkat." Jocelyn menarik lengannya cepat keluar hotel.

[Y/N] tersenyum menanggapi ajakan Jocelyn. Paling tidak mereka berdua harus memanfaatkan waktu liburan sebaik mungkin sebelum kembali ke Indonesia, khususnya [Y/N] yang jika tidak karena novelnya, mungkin ia tidak akan pernah menapakkan kaki di negara empat musim ini.

Dopamine | Ran Takahashi x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang