TUBUH mungil tak berisi, paras wajah yang tak cantik dengan perilaku yang tak beradab—serta otak yang tak bermutu.
Mungkin, tak ada satupun hal positif, kecuali isi dompet dengan jejeran gambar Soekarno-Hatta diwarnai black card yang terpampang rapi.
Ergantha bukanlah gadis miskin yang tak bisa merawat wajah. Tapi bintik-bintik hitam di pipi, memang susah diatasi. Mungkin, opsi melakukan 'perubahan wajah,' akan dilakukan begitu menginjak usia dua puluh tahun, saat bebas melakukan segalanya— saat laki-laki yang ia sebut 'Papa,' melepaskannya dari neraka.
Memasuki 'Club' yang selalu ia minati, dengan mini dress hitam di atas lutut. Berniat menikmati dunia malam, bersenang-senang dengan para lelaki, dan akan mencoba segala jenis macam alkohol—karena wine dan bir sudah terlalu biasa.
Baru saja ingin mencicipi gelas pertama, Ergantha kesal karena gelas itu diambil paksa oleh seseorang. Menatap penuh rasa kebencian dan amarah, tak suka jika kesenangannya terusik.
Lagi, Ergantha memesan minuman berakhol lainnya, tak peduli tatapan murka dari laki-laki yang kini berdecak pinggang. Dia sudah 17 tahun, hidupnya sebentar lagi akan menjadi miliknya.
Gelas kedua kandas kembali, direbut paksa oleh laki-laki yang mengikuti Ergantha sejak tadi. Mereka bertatapan saling memusuhi, tak ingin mengalah. Jengah dengan dentuman musik yang berpacu, laki-laki itu menarik Ergantha keluar dari dunia yang penuh bising berlimpahan dosa.
"Mas Pati apa-apaan sih!" Sentak Ergantha mencoba melepaskan genggaman tangan laki-laki yang sejak tadi merusak suasana.
Diseret pergi dengan cara yang tak bermoral. Lagi pula sejak kapan ia diperlakukan secara terhormat.
"Kamu itu perempuan, Tha!" Desis Pati penuh amarah kepada Ergantha, menyeret Ergantha sampai dentuman musik menghilang di telinga.
"Sakit!" Ergantha mencoba melepaskan pergelangan tangan yang sejak tadi Kaka laki-lakinya tarik tanpa berperikemanusiaan.
"Kamu kenapa jadi bandel begini!" Pati melepaskan pergelangan tangan Ergantha begitu mereka di area parkir. "Kamu itu perempuan, Tha! Perlu berapa kali Mas ingetin jangan pernah datengin tempat yang kayak gini!"
Ergantha tertawa samar, "Memang cuma laki-laki yang boleh hidup serampangan? Cuma Mas Pati yang boleh kenal dunia malam? Aku mau make out sama siapapun memang apa urusannya!"
"Tha!" Teriak Pati membentak.
"Kenapa?! Mas Pati mau nampar aku lagi? Mau bilang, kalau perempuan enggak pantes berkelakuan 'nakal'. Kenapa Mas Pati boleh, aku enggak?!"
"Apa aku harus jadi laki-laki dulu, biar sah hukumnya jadi brengsek kayak Mas Pati dan Papa? Kalo itu masalahnya, aku bakalan transgender!" Tantang Ergantha.
"Ergantha!" Sentak Pati. Ubun-ubunnya kian memanas. Pati tak peduli beberapa pasang mata yang tengah memandang pertengkaran mereka.
"Kenapa baru sekarang Mas Pati sok-sokan peduli. Kemana Masku yang dulu ninggalin adiknya di penjara bau tanah!"
Pati menguyur rambut ke belakang. Ia frustasi harus menangani Ergantha yang keras kepala. Dia memang bersalah meninggalkan adiknya dalam kurungan yang tak manusiawi.
"Enggak gini caranya, Tha! Kamu enggak tahu gimana tersesatnya dunia yang kamu injak sekarang."
"Aku enggak peduli, dan aku bukan anak kecil yang hobi merengek—lagi." Ergantha bergegas pergi, ingin kembali memasuki area terlarang yang sejak dulu ia inginkan.
"Kamu enggak kasihan sama mendiang Mama?" Langkah Ergantha membeku begitu Pati menyebut Mama. "Mama juga pasti sedih Tha, kalau tahu kamu begini terus."
Ergantha berbalik badan, memandang remeh, "Kenapa pas lagi makeout sama perempuan Mas Pati enggak sepinter ini? Kenapa enggak inget sama Tuhan pas lagi mabuk?"
Pati memejamkan mata, menetralisir amarah, adiknya memang sarkas. Selalu mengingatkan dosa-dosa yang pernah ia lakukan—dulu.
"Tha, please... Mas Pati udah pernah ngerasain tenggelam sama dunia malam, dan kamu enggak seharusnya... Inget Mama, Tha."
Sialan!
Ergantha berdecak kesal, keinginannya menjadi wanita 'nakal' terkubur sebentar. Teringat akan sosok Mama yang dulu sempat hadir dalam hidupnya. Alih-alih kembali memasuki daerah terlarang, ia malah memasuki mobil sport miliknya. Bergegas pulang dengan mood yang hancur berantakan.
Hidupnya memang tak berharga, karena ia pun sama tak berharganya. Namun, mendiang Mama, sangatlah berharga. Meskipun hanya segores memori di ingatan.
Ergantha berjanji, lain kali ia akan memasuki kawasan daerah terlarang ini. Meminum berbagai macam wiski dengan kandungan alkohol yang tinggi. Berdansa dan menghabiskan malam mencekam bersama laki-laki asing. Dia bercita-cita akan menjadi wanita dewasa yang 'nakal' dengan sungguh-sungguh, dan untuk menggapai cita-cita itu, Ergantha harus bersabar.
Tunggu saja!
Pati kakak laki-lakinya, masih setia mengikuti dari belakang. Mulutnya pasti akan mengadu kepada Tuan terhormat di rumah. Berujung Ergantha tak akan memiliki jam malam—lagi.
Sudah jauh-jauh hari ia merencanakan pergi ke daerah terlarang—club malam. Seorang diri, kabur melalui jendela, memarkir mobil jauh dari rumah, dan dalam sekejap rencana yang ia susun runtuh hanya gara-gara tertangkap kakak laki-lakinya.
Seharusnya, Pati tetap menjadi saudara yang paling brengsek!
"Jangan bikin malu keluarga." Baru memasuki rumah, langkah Ergantha sudah diintrupsi. Siapa lagi kalau bukan Tuan si gila hormat.
"Sekali lagi Papa tahu kamu ke Club, black card Papa ambil dan Jam main Papa cabut." Ergantha melongos, tak mengindahkan satu dua kata yang terucap. Padahal ia setengah mati tak terima. Ingin mengajukan banding, pasti kalah telak.
"Kamu itu perempuan, sadar posisi!" Lagi, Ergantha kembali mendengar kalimat yang selalu diucapkan berulang kali.
Ia hanya seorang perempuan yang harus menjaga nama baik keluarga. Tak boleh hidup serampangan, tak boleh beratitude buruk. Harus berotak pintar, berwajah cantik.
Sialnya, ia tak memiliki satu pun kriteria yang orang-orang inginkan.
"Mau jadi apa kamu! Bisanya cuma kelayapan! Malu sama mendiang Mama!"
"Harusnya Papa protes ke Mama, kenapa dia mau ngelahirin anak perempuan yang seperti aku— Kalau bisa, Papa segera susulin Mama!" Seru Ergantha tanpa berbalik badan. Pergi meninggalkan suara amarah dari laki-laki yang selalu ia sebut Papa.
"Hehh, sini kamu, ngomong apa kamu! Berani-beraninya enggak sopan sama mendiang Mama!"
"Ergantha! Turun!"
"Ergantha!"
"Ergantha!"
"Ergantha!"
Ergantha tak peduli, entah namanya di panggil ribuan kali atau ratusan kali. Ia mengunci pintu kamar, memasang gembok dari dalam— agar tak mendengar amukan. Papanya memang tak pernah memakai kekuatan fisik, namun kekuatan bentakan cukup membuat Ergantha tak berani berkutik. Ia akan terlihat lemah, dan Ergantha tak suka itu.
Ergantha memang terlahir sebagai perempuan, yang rasa lebih depan daripada logika. Yang seharusnya dimuliakan namun terbaikan.
Ia hanyalah rongsokan tak bernilai.
Mungkin, para dewasa itu benar, seharusnya ia tak perlu bernafas di atas bumi pertiwi!
****************
Tahun baru diawali sama cerita baru 🥳
Dicerita ini ada tag "Dewasa," tidak lain dan tidak bermaksud apa-apa melainkan beberapa banyak bahasa yang tidak baik di tiru demi penunjang penokohan.
Tidak ada scene yang ngadi-ngadi yaa guess🙏
Yuk mari ramaikan. Vote dan kawannya di persilahkan~
Fii Amanillah guessss 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumpuan Tanpa Tepi (COMPLETED)
SpiritualErgantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengu...