Bab 28 : Ada udang di balik Steak

49 2 0
                                    

DAGING yang sedang berakumulasi di dalam mulut terasa hambar. Tak ada juicy ataupun gurih. Dentingan jam yang bergerak seakan ikut serta merayakan hawa yang mencekam. Dinding ini pun tahu, kalau suasana makan malam bersama selalu jauh dari kata hangat.

Yah, dan Ergantha tak pernah suka bergabung untuk mencerna makanan dengan dua laki-laki ini.

"Bagaimana ujian kamu?" Papa bertanya di sela-sela Ergantha tengah berjuang menelan daging yang tak terkunyah dengan baik.

Suasana makan malam bersama sangat jarang terjadi, apalagi dengan kondisi aura yang tenang seperti ini. Ergantha bersiaga, entah apa yang Papa akan umumkan. Semoga saja tak ada sangkut pautnya dengan kehidupan Ergantha.

"Enggak ada yang istimewa." Ujar Ergantha

"Kamu sudah pikirkan mau kuliah dimana?" Intonasi basa-basi yang kian membuat Ergantha mual dan ketakutan dalam satu waktu.

"Melbourne, Ausie."

"Yakin kamu, di Melbourne? Bagaimana dengan nilai kamu?" Papa mengernyit dan Ergantha tak suka keraguan yang tertulis di dahi berkerut itu.

"Yakin." Meletakkan pisau dan garpu, Ergantha kemudian meneguk air. Ia tak boleh lengah terlihat lemah.

"Memangnya nilai kamu memadai sampai bisa diterima di tempat yang bergengsi?"

"Berdasarkan hasil konsul sama guru enggak ada masalah." Akui Ergantha berbohong. Jelas nilai akademiknya tak pernah naik dari tahun ketahun. Kalaupun tak bisa bersekolah di Melbourne, setidaknya ia hanya butuh keluar dari rumah sialan ini. Entah kuliah ataupun tidak. Toh, Ia hanya butuh kebebasan!

"Kampus di Jakarta enggak kalah bagus. Kenapa harus jauh-jauh ke Ausie, Tha?" Komentar Pati ikut membuka suara.

"Suka-suka aku, lah!" balas Ergantha menatap Pati tak suka.

"Enggak usah pake melotot kali, Tha." Kata Pati berlagak merinding.

Ergantha tak suka harus berinteraksi bersama dua laki-laki yang mengatasnamakan kata keluarga ini. Papa yang selalu acuh dengan Pati yang mencoba mengakrabkan diri.

"Dulu nilai sekolah kakak kamu dibawah rata-rata, tapi dia sadar dengan kapasitas otak yang tidak seberapa... Kenapa kamu sangat percaya diri bisa kuliah di Melbourne, padahal hanya berbekal bahasa asing...." Papa menggeleng terkekeh.

"Yang nilai raportnya bagus tapi enggak mengusai bahasa asing aja, enggak minder— justru bertekad kuat untuk kuliah sampai ujung negeri. Kenapa aku harus minder, padahal kunci segalanya terletak di bahasa."

"Seberapa persen keyakinan kamu sama pelafalan bahasa asing?" Tantang Papa.

"Apa perlu aku tunjukkin hasil EILTS?" meskipun nilai akademik tak pernah memenuhi, setidaknya Ergantha menguasai dua bahasa Asing—Inggris dan Mandarin.

"Kamu boleh kuliah di Ausie." Ujar Papa seolah mengizinkan.

"Enggak, enggak, enggak," sela Pati tak terima. "Ergantha sendirian kalau kuliah di luar negeri, Pa!"

"Siapa bilang Papa mengizinkan Ergantha pergi ke Ausie tanpa didampingi?" Ungkap Papa fokus mengiris daging. Pati tak mengerti kearah mana pembicaraan ini. "Sebelum ke Ausie, Ergantha akan menikah."

"Pa!" Tolak Pati tak setuju.

"Kamu lupa adab bicara dengan orang tua?!" Papa mengangkat wajah, melayangkan teguran kepada Pati. Ia tak suka Pati ataupun Ergantha tak memiliki hormat kepada yang lebih tua.

Pati menyenderkan punggung ke kursi, kini ia tahu mengapa Papa santai saja mendengar pilihan Ergantha.

"Ergantha masih kecil, Pa!"

Tumpuan Tanpa Tepi (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang