GEJOLAK yang tumbuh berasal dari kekaguman, terawat oleh harapan hingga membusuk sebagai perasaan yang kian mendalam. Ibarat jatuh hati yang candu, entah sampai kapan. Memang siapa yang sengaja menyirami khayalan dengan ribuan angan.
Tak sadar kepada bunga yang ia tanam sendiri, Ergantha menjadi semakin penuh pengharapan. Kepada Adzkan yang jelas-jelas menyukai perempuan lain. Toh, perasaan Adzkan sepertinya bertepuk sebelah tangan. Kemungkinan memenangkan hati lelaki itu mencapai peluang dua puluh persen saja.
Tapi, tak apa!
Cantik, Ergantha memuji diri. Berkaca melalui ponsel mengambil satu dua selfie sebagai koleksi pribadi. Memeriksa Pashmina agar tampak rapi dan simetris, tetap saja bintik-bintik hitam di pipi memang susah diatasi.
Sejenak Ergantha berpikir apa ia melakukan operasi plastik saja, demi menghilangkan bintik-bintik hitam yang telah ada sejak lahir. Tapi itu sama saja tak bersyukur atas pemberian Allah. Ergantha bukannya tak bersyukur hanya saja kenapa harus terlahir dengan bintik-bintik hitam di pipi!
Memejamkan mata, mengusap dada, Ergantha melafazkan istighfar. Menghalau rasa kufur nikmat yang tumbuh secara perlahan. Kebiasaan mengumpat tengah ia arahkan untuk tak muncul kedaratan.
"Ngapain?" Terkaget dengan suara bass yang menggema Ergantha melotot kepada si Pengganggu. Siap mengucapkan sumpah serapah namun ia tahan begitu melihat Adzkan-si pelaku.
Belum apa-apa kebiasan bersumpah serapah sudah memberontak keluar untuk dibebaskan.
Sial! Eh! Astaghfirullah...
Menarik kursi di samping Ergantha, Adzkan menduduki diri. Jam makan siang hampir tak pernah Ergantha lewatkan untuk bisa berada di minimarket ini. Sebuah kebetulan yang sengaja diciptakan agar bisa bersapa bersama laki-laki favoritnya.
"Kamu baru pulang kajian?" Tanya Adzkan menyadari Ergantha mengenakan Pashmina.
"Abis dari kampus...Mau ngadem dulu sebelum pulang." Adzkan mengangguk tanpa berkomentar lebih lanjut, memakan makan siangnya-onigiri dan segelas coffee.
"Mas Adzkan enggak bosen makan onigiri terus?" Ergantha bertanya penasaran. Menopang dagu dengan sebelah tangan memandang wajah Adzkan dari samping.
"Saya lebih bosen kalau harus makan sendirian di rumah."
"Terus kenapa enggak makan di restoran atau di caffe yang deket-deket Bengkel."
"Hanya minimarket yang tidak ramai di saat jam makan siang... Dan minimarket ini yang paling dekat dari Bengkel."
"Aku pikir karena doyan onigiri." Komentar Ergantha menegakkan duduk, kemudian meneguk jus berbentuk kotak.
Ergantha bisa saja memandangi laki-laki ini terus menerus, meskipun manusia yang tengah ditatap tak terganggu sedikit pun-menatap lurus seakan Ergantha bukan sosok menarik. Ia harus sedikit berwibawa untuk mendampingi sifat Adzkan yang begitu lurus. Menjadi perempuan lembah lembut yang pandai dalam menjaga diri. Siapa tahu, Adzkan akan tersadar akan pesona Ergantha.
Ergantha menunggu Adzkan untuk berkomentar lebih jauh perihal penampilan barunya. Blouse dengan rok dipadukan dengan Pashmina yang senada. Harusnya, penampilan Ergantha menambah daya tarik bagi para laki-laki seperti Adzkan.
"Mas Adzkan enggak makan siang bareng Mas Pati?"
Ergantha berbasa-basi, tak mungkin ia menanyakan 'Gimana penampilan baruku?' Tak elegan dan terlalu terang-terangan. Mungkin nanti Adzkan sadar sendiri.
"Pati lebih suka makan di kantor-Kakak kamu itu gila kerja, tidak bisa jauh dari tumpukkan dokumen."
"Pencintraan!" Ralat Ergantha memutar bola mata. "Yang ngurus bengkel lebih banyak Mas Adzkan, masalah urgent juga selesai karena bantuan dari Mas Adzkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumpuan Tanpa Tepi (COMPLETED)
SpiritualErgantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengu...