Alkohol, rokok, dan kondom bukanlah hal yang tabu. Pun, clubbing, mabuk-mabukan-suatu kesenangan yang tak bertepi. Remaja menyebutnya biasa, dimana semangat kebebasan tengah membara diusia muda.
Ergantha gemar mencari makna kebebasan, dan alkohol seperti memberi jawaban tumpul yang berarus deras. Menyukai dunia malam tanpa berniat melangkah lebih jauh dalam dosa tergelap. Ergantha bercita-cita menjadi perempuan 'nakal,' disatu waktu ia justru tak pernah sanggup menjalin suatu hubungan dengan laki-laki manapun.
Agaknya ia cukup waras, tak menggadaikan diri hanya untuk satu laki-laki tanpa sebuah alasan yang pasti. Tapi Arlin-sepertinya bermain terlalu jauh tanpa tumpuan yang tak bertepi.
"Arlin mohon, Pa, izinin Arlin buat jaga Mama sampai sembuh!" Suara Arlin terdengar pilu dan diiringi tangis.
"Keluar kamu! Bisanya cuma bikin malu keluarga!"
Pertengkaran antara Ayah dan anak terdengar menggelegar sampai ke ujung pintu ruangan bernuansa VVIP. Lorong yang terkesan hening berselimut hawa mencekam.
Ergantha, Rere, Dryl , Frans dan Arjun menatap satu sama lain. Ingin menjenguk namun sepertinya kondisi sedang tak tepat. Mereka menatap satu sama lain. Menimang apa harus berpura-pura tak mendengar atau menjadi pahlawan kesiangan dengan dalih bertamu.
"Keluar, Arlinda!" Bentakan Pak Brastama, Papa Arlinda terdengar nyaring.
"Pa... Arlin berani sumpah, kalau di Vidio itu Arlin enggak sampai telanjang."
Tak lama suara vas bunga terlempar ke depan pintu. Mereka lantas mundur beberapa langkah, memilih duduk di ruang tunggu yang tak jauh dari ruangan VVIP. Agaknya cinta membuat Arlin sedikit sinting, membela diri disaat kesalahannya tak pantas dibenarkan.
Dryl memijat kepala, sesekali melemparkan tatapan cemas kearah pintu ruang inap.
"Biarin Arlin tenang dulu sama bokapnya."
"Nungguin Arlin sampai mau cerita, padahal enggak ada yang bisa prediksi kapan bokapnya Arlin tenang setelah tahu semuanya." Ergantha menautkan kedua tangan di depan dada—terlihat gusar. Ia juga ingin memberi Arlin waktu, namun lima hari tak ada kabar rasanya itu sudah terlalu lama.
"Timingnya enggak pas kalau mau nemuin Arlin sekarang." Ujar Arjun menyenderkan punggung di dinding.
"Tapi si Arlin itu gegabah, kalau nyokap bokapnya lepas tangan, dia bisa depresi. Kalian tahu, kan, logikanya Arlin kagak pernah kepake semenjak kenal Bang Radit." Desis Frans tak sabar ingin melihat kondisi Arlin. "Lagian si Arlin itu pake otak enggak sih, mau aja buat Vidio sama si ban*sat! Bisa-bisanya itu anak juga buat pembelaan!"
Mereka sepakat Arlin rupanya sedang tak waras.
"Gue lebih takut kalau Arlin berpikiran pendek, meskipun vidio yang kesebar udah keblokir." Ergantha mengungkapkan kekhawatirannya.
Terakhir, mereka menunggu pendapat Rere. Pergi tanpa menemui Arlin atau mengetuk pintu kamar rawat inap yang tak jauh dari ruang tunggu ini.
"Rere mau ketemu Arlin, tapi nanti kalau nangis, gimana..." Rere menunduk sesekali mengusap air matanya. Si cengeng berdarah Tionghoa. "Arlin pasti malu, dia pasti sedih banget."
"Belum ketemu aja Lo nangis terus, Re..." Arjun mengulurkan sapu tangan.
"Ketuk aja, lah!" Ergantha memutuskan. Baru saja ia berdiri, rupanya Arlin tengah mematung di depan pintu ruang rawat inap dengan wajah terkejut tak jauh dengan jarak mereka saat ini.
Mereka menatap satu sama lain, diikuti Dryl, Frans, Arjun dan Rere. Dentingan jam seolah membuat mulut mereka tak bisa berucap. Penampilan Arlin dengan sepasang piyama berbalut sweeter panjang, belum lagi dengan rambut yang tegerai acak-acakan.
Tak ada kata yang terucap, penghiburan ataupun menanyakan kabar juga tak bisa terlempar.
Arlin yang lebih dulu mendekat, memberikan senyuman yang di paksakan. "So-sorry, gue-"
"Gue beli minuman bentar." Potong Dryl melarikan pandangan, kemudian berbalik pergi. Ia belum sanggup menemui Arlin, merasa bersalah sebab menjadi perantara awal kedekatan Arlin dan Radit.
"Gue kayaknya butuh toilet." Frans mengusap belakang leher. Rupanya ia tak sanggup melihat kondisi Arlin yang sangat berantakan. Belum lagi bekas keabu-abuan di leher yang masih terlihat samar. Mungkin logika Arlin telah hilang, termakan oleh sebuah rasa.
"Gue- Gue kayak nya harus nyusul Dryl, dia suka lupa rute." Kata Arjun gelagapan.
"Rere ikut Arjun kalau gitu, Rere juga mau cari minuman." Rere yang tak berani menatap Arlin mengejar Arjun.
Jadilah Ergantha dan Arlin yang tersisa, duduk di ruang tunggu pasien tanpa mengucapkan sepatah kata.
"Mereka pasti jijik punya temen kayak gue yang bikin malu." Arlin membuka suara tersenyum kecut. "Lo enggak jijik sama gue, Tha?"
"Gue lebih jijik ke Bang Radit." Kata Ergantha menjawab jujur. "
"Tha...."
"Bang Radit yang nyebarin, kan?" Ergantha memastikan. "Lo udah lapor polisi?"
"Bokap gue-"
"Takut merusak nama baik keluarga?" Arlin mengalihkan pandangan, enggan menjawab. Hubungannya dengan keluarga dan sang kekasih hancur dalam sekejap.
Ergantha memegang telapak tangan Arlin memberi kekuatan. "Kita sama-sama tersesat, Lin. Tapi otak kita ini masih sama-sama bisa berfungsi."
"Gue bingung, Tha." Arlin menunduk, dada yang terasa sesak menjelma menjadi air mata.
Ergantha memeluk Arlin, mengelus punggung agar menetralkan tangis. "It's okay... Lo boleh nangis sekencang-kencangnya, dan harus pake otak setelah ini—Putusin manusia setengah predator itu!"
Ergantha tak Sudi menyebut nama laki-laki yang tak bermoral itu. Sudah memanfaatkan teman perempuannya, mengabadikan momen yang tak pantas bahkan menyebarkannya tanpa menggunakan otak.
Dasar predator mesum!
"Gue sayang sama Bang Radit, Tha."
"Dia predator, Lin. Lo yakin masih mau bareng-bareng sama modelan cowok enggak ngotak kayak dia?" Arlin mengangguk ragu di tengah tangisannya yang tak kunjung reda.
"Setelah dia nyebarin Vidio asusila kalian, Lo masih sanggup sama kaum red flag begitu?" Arlin sekali lagi mengangguk.
Diantara mereka semua nilai akademik Dryl dan Arlin yang dapat disombongkan. Cantik, pintar dan kaya—segalanya ada pada diri Arlin. Bisa-bisanya perempuan secerdas Arlin tak menggunakan logika disaat krusial begini.
"Lin!" Ergantha melepaskan pelukan mereka, menatap Arlin dengan seksama. Kilatan amarah mencuat berapi-api. "Please, jangan bilang Lo udah kasi semuanya ke dia?"
"Sorry..." Arlin kembali menangis di pundak Ergantha.
Ergantha menghela nafas, merasakan pasokan udara menjadi sulit terhirup.
Kecewa pada hal yang tak bisa ia atur. Arlin yang menyerahkan segalanya seperti membuat Ergantha merasakan sakit. Tak tahu apa yang membuatnya kian bersedih. Arlin yang kehilangan masa depan, atau ia yang tak pandai menjaga sahabat tersayang.Cita-citan Ergantha menjadi perempuan 'nakal' namun hatinya tak pernah membenarkan untuk terjerumus kepada pesona laki-laki brengksek!
*************
Hollaaa
Kembali lagi
Sama Ergantha
Jadi gimana?Kuy ramaikeun 💅💅💅
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumpuan Tanpa Tepi (COMPLETED)
SpiritualeErgantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengu...