Bab 14 : Flitring

59 8 1
                                    

ADZKAN Arkanu Maliki, laki-laki berwajah rupawan dengan proporsi yang menawan. Tak hanya tampan, laki-laki yang berhasil merebut perhatian Ergantha ini pun sangat sopan. Tak heran jika kakak laki-lakinya kini berubah haluan, sebab circle pertemanan Pati sekelas dengan Adzkan. Tampan dan berakhlak.

Ergantha tersenyum sumringah melafalkan nama laki-laki yang tak dikenalnya itu. Bermodal sebuah ilusi yang diciptakan sendiri, ia menyusun beberapa rencana pendekatan dengan bumbu untuk menggoda. Sayangnya laki-laki itu sangat susah untuk didekati.

Terhitung tiga hari ia berada di Bandung, justru tak pernah berpapasan dengan Adzkan. Ergantha hanya pernah mengobrol ringan dengan Najwa dan Pak Kurniawan selaku pemilik rumah.

"Bisa pakai khimarnya, Tha?" Tanya Najwa.

"Jilbabnya susah diatur." Balas Ergantha memperlihatkan jilbab yang ia kenakan tak serapi Najwa. Sudah tak simetris dan miring tak jelas arahnya. "Enggak ada yang instan aja, Kak?"

"Sebentar...." Najwa lantas membuka lemari mencari jilbab instan atau bergo yang dapat digunakan Ergantha.

Tak butuh waktu lama untuk bisa mengakrabkan diri dengan Najwa. Sebab, mereka hanya selisih tiga tahun—Pun, perempuan cantik ini begitu ramah kepada Ergantha. Harusnya, dulu Mama pergi meninggalkan Ergantha dengan seorang saudari perempuan bukan saudara seperti Pati, si titisan serigala berbulu domba, mungkin perasaan hangat ini akan selalu ada untuknya.

"Yang ini, gimana?" Ergantha mengambil Jilbab instan yang Najwa berikan. Berkaca dan memakainya dengan sentuhan terakhir. Ergantha menatap dirinya dengan hembusan nafas yang berat.

Kapan terakhir kali ia berpakaian tertutup seperti ini?

Ah, iya! Hanya saat lebaran. Itu pun hanya menggunakan penutup kepala berupa selendang.

Pakaian terbuka mungkin lebih cocok, karena Ergantha bukan gadis baik-baik seperti Najwa. Bukan juga gadis dengan pengetahuan agama yang mendalam. Ia tak pernah ingin repot mengurusi agama, perihal ada dan tiadanya Tuhan, juga tak pernah ia pertanyakan.

Ergantha bukan penganut agnostik ataupun atheis. Ergantha hanyalah Ergantha, gadis tak berharga yang kebetulan dapat terlahir di muka bumi.

"Kenapa, Tha? Gamisnya enggak nyaman?" Tanya Najwa.

Ergantha menggeleng, "Aneh aja, rasanya aku enggak cocok."

"Coba kamu lihat yang bener. Sisi bagian mana yang kelihatan enggak cocok?"

Ergantha tersenyum simpul. Penampilannya memang membawa aura yang berbeda. Ergantha sendiri tak tahu bagaimana menggambarkannya, hanya saja ia merasa tak pantas.

"Yuk, di bawah udah di tungguin." Ajak Najwa. Ergantha mengikuti Najwa dengan langkah berat. Hari ini ia harus mengikuti serangkaian acara kegiatan di Panti asuhan dengan paksaan dari Pati.

Memasuki mobil, Pati dan Adzkan sudah siap lebih dulu di bagian pengemudi, sedang ia dan Najwa menempati bagian menumpang.

Akhirnya Ergantha bisa bertemu dengan laki-laki itu.

"Cantik banget, Tha...." Goda Pati membuka percakapan. "Kamu harus sering-sering main sama Najwa supaya ketularan cantiknya." Ergantha mendengus, tak berniat menanggapi Pati.

Melihat suasana sepasang saudara yang tak akur, Najwa mengalihkan pembicaraan mereka. "Hadiah untuk anak Panti dibawa siapa?"

"Makkih." Jawaban Adzkan membuat Ergantha melarikan tatapan ke bangku pengemudi. Sayangnya, ia tak dapat puas menikmati wajah tampan Adzkan.

"Kenapa si Makkih enggak ikut kita, biasanya kalau ada Najwa selalu nimbrung." Sela Pati.

"Makkih jemput Asih." Timbal Adzakan.

Tumpuan Tanpa Tepi (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang