Bab 5 : Friend-Sh*t

76 13 1
                                    

KAKI pendek, badan tak berisi dan paras yang tak begitu cantik. Kini, dompet pun ikut serta menjadi kaum menyedihkan dalam kehidupan Ergantha. Cukup wajah dan tubuh yang tak menarik agar ia bisa sedikit bernilai. Jika materi pun menjadi menyedihkan, lantas dimana Ergantha bisa menaikkan harga diri.

Keluarganya tak bangkrut, luas tanah tempat berdiri istana yang ia sebut rumah masih berbentuk kokoh. Hanya saja, Papa menjadi tokoh antagonis yang semakin menikmati peran.

Ergantha hanya diberikan satu juta rupiah selama sebulan tanpa ada black card. Fasilitas mobil turut ditarik seenaknya oleh Papa. Bagi Ergantha, satu juta dalam sebulan hanya bisa memenuhi rutinitas nongkrong dengan cemilan murah-meriah di Kota Metropolitan.

Rasanya Ergantha ingin menjadi Sugar Baby saja. Cukup menjual kehormatan maka hidup berlimpah kekayaan. Namun, siapa yang berminat kepada gadis yang hanya memiliki selaput darah perawan. Cantik tidak, tubuh pun tak menarik.

Jadi apa yang harus ia perjual belikan agar dompetnya tak kekeringan...

Harga diri? Kehormatan? Yah, Ergantha memang berniat melelang kehormatan yang diminati para lelaki hidung belang. Tapi tak untuk ditukar dengan uang, karena Ergantha tak ingin menodai cita-citanya—menjadi gadis nakal yang berkuasa!

"Tha, bokap sama Mas Lo pulangnya kapan?" Tanya Frans yang tengah menduduki kursi belajar Ergantha.

"Sore." Balas Ergantha malas-malasan. Pikirannya sedang berputar dalam pengelolaan keuangan yang semakin kering.

"Padahal Re udah dandan cantik. Kalau Mas Pati pulangnya kesorean, muka Re enggak keliatan glowing lagi..." Rere mematut diri di depan meja rias milik Ergantha, merapikan lipstik dan rambut yang sudah rapi sejak tadi.

"Glowing pun, belum tentu di lirik, Re. Lo harus jadi ukhti-ukhti dulu, baru bisa di lirik... Mana baju kekurangan bahan lagi." Arjun menggeleng, mengomentari.

"Bajunya Re tertutup ya Arjun, jangan asal ngomong!" Rere berbalik badan melotot tak terima.

"Dih, dengkul Lo yang tertutup!" Sarkas Arjun mengomentari baju model sabrina yang dikenakan Rere. Entah definisi tertutup apa yang dimaksud oleh Rere.

"Arjun! Enggak sopan ngomongnya, Re enggak suka!" Rere mendengus sebal, mengibaskan rambut sebahunya.

"Bukan enggak sopan tapi valid."

"Matanya Arjun tuh enggak paham yang namanya mode."

"Mode sama FOMO enggak ada bedanya, sama-sama bikin manusia jadi latah. Mau aja Lo diperbudak!"

Rere memalingkan wajah dengan mimik cemberut yang tak pernah ia sembunyikan dikala kesal. "Huh! Dasar titisan Megantrophology Paleojavanicus!"

"Meganthropus Paleojavanicus, kali!" Arjun meluruskan nama manusia purba tertua di Indonesia dengan menggulum senyuman mengejek.

"Sok tahu!"

"Loh, memang gue tahu."

"Dasar—!"

"Apa?!"

"Gue nikahin juga kalian berdua..." Sahut Arlin sembarang. Ia terlalu gemas dengan interaksi kedua temannya yang suka mengatai satu sama lain.

Mereka tengah mendatangi kediaman Ergantha. Terlampau sulit diajak berpergian, jadilah mereka berkumpul di kamar Ergantha.

Kamar yang dihiasi dengan brand ternama serta warna hitam dan pink yang mendominasi menjadi tempat mereka menghabiskan waktu berselancar. Fasilitas yang Ergantha nikmati tak seberapa dibandingkan dengan kebebasan yang ia inginkan.

"Berisik banget lo semua... Dyrl kemana, sih?" Keluh Ergantha. Perdebatan antara Rere dan Arjun hanya bisa ditengahi oleh si  penggemar berat Umar Bin Khattab—siapa lagi kalau bukan Adrylian Bara Argani.

"Udahlah, Dryl biarin aja. Gue bawa bir supaya kita ngerjain tugas semakin semangat." Frans menunjukkan tas yang berisi Bir.

"Gue maunya Pinot Noir." Ergantha menolak.

"Gue enggak mau kalau birnya cuma satu perorang." Arlin mengiba.

"Gue enggak mau lah kalau birnya merek kacangan, Lo banyak duit tapi enggak high class!" Tambah Arjun.

Frans mendengus, teman-temannya memang sialan. "Mau enggak Re?" Tanya Frans siap melemparkan satu kaleng bir.

Rere menggeleng, "Re lagi nyicil dosa, mau hijrah supaya dapat imam kayak Mas Pati."

"Benerin dulu baju Lo!" Sinis Arjun. Rere kembali mendengus cemberut, hampir ingin menusuk mulut Arjun dengan lipstik yang ia pegang.

"Uang jajan Lo masih ke potong, Tha? Kita mau party di Xtended, gabung enggak? Nanti gue yang traktir." Ajak Frans.

Terakhir kali Ergantha bersenang-senang tahun lalu, saat Papa tengah sibuk mengerjakan proyek di luar negeri— saat Pati kakak laki-lakinya tak pernah ingat akan rumah. Namun kini, menginjak rumput tetangga saja, ia harus memutar otak mencari skenario terbaik dan berakting sebaik mungkin.

"Nanti gue jemput deh. Gue tungguin agak jauh dari rumah, Lo. Gimana?" Tawar Frans tak kenal lelah. Ia butuh teman yang gila seperti Ergantha, sebab Dryl sudah resign dari dunia malam.

"Gue butuh skenario."

Penjagaan rumah kian ketat semenjak Pati pulang. Semakin lama rumah bak istana ini tak ada bedanya dengan penjara bau tanah. Jika Ergantha melanggar, sudah pasti akan ada hukuman selanjutnya, bisa-bisa Ergantha tak memiliki akses apapun.

"Makin tahun makin susah main bareng Lo, Tha." Keluh Arlin. "Tempat nongkrong aja kudu berlabel halal. Tapi Mas Pati beneran hjrah, Tha? Padahal kata Bang Radit Mas Lo itu udah kayak Casanova banget kalau lagi di Jakarta. Kerjaannya bikin party mulu!"

Ergantha jadi teringat sebelum Pati menetap untuk tinggal di Jakarta. Ia kerap kali menemukan Pati pulang dalam keadaan mabuk atau tak sadarkan diri, merancau tak jelas namun pagi-pagi buta sudah kembali ke Bandung. Tak Sudi katanya jika harus tidur seatap dengan Papa.

Tapi itu dulu, sebelum Pati mengenal kata tobat...

"Papa jadi tambah resek semenjak Mas Pati balik ke rumah." Kata Ergantha tak ingin menjelaskan panjang lebar.

"Makanya nikah sama gue, Tha. Biar hak wali berpindah, terus Lo bebas mau ngapain aja." Goda Arjun yang dibalas lemparan bantal.

"Thata pura-pura tidur aja, terus bilang ke Mbok Min kalo enggak mau di ganggu, nanti kasurnya di isi bantal sama guling terus tutupin selimut deh." Kata Rere memberi ide.

"Tumben Lo bener, Re..." Puji Arlin.

"Oke gue ikut!" Putus Ergantha. Sontak mereka semua bersorak gembira untuk Ergantha yang menyetujui acara malam minggu yang penuh akan gelora jiwa para remaja.

Di luar pintu kamar Ergantha, Dryl menghela nafas, mengeram kesal mendengar rencana teman-temannya yang akan berpesta. Ia sudah menolak ajakan party tak berfaedah itu, namun jika Ergantha hadir, bagaimana mungkin ia abai.

Dunia malam yang mereka singgahi itu seperti gurun oasis berlapis emas. Terkesan menyenangkan, satu waktu dapat membakar. Ibarat kesenangan yang penuh fetamorgana.

Harusnya, Ergantha tak menjadi remaja bajingan yang hobi melanggar norma. Cukup mereka saja yang kotor agar bisa bangkit kembali. Jika Ergantha ikut ternodai beban Dryl jadi semakin berat.

Frans  yang sangat suka hingar bingar hiburan malam, Arjun yang tak peduli keselamatan teman perempuannya, Arlin dan Rere budak cinta yang kehilangan logika. Sedang Dryl, si brengsek yang mengenalkan kenakalan kepada mereka semua. Kini, tinggal menunggu Ergantha saja akan menjadi seperti mereka— menjadi remaja tanpa batasan dan norma.

Dryl merutuki diri, teman-temannya mendekati kacau. Ia hanya berharap agar Ergantha tak sekacau mereka semua.

******************

Malam guesss,
Kembali bersama Ergantha yang belum Nemu tumpuan

Yuk mari yukkk, gerakkeun jari~

Tumpuan Tanpa Tepi (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang