Bab 26 : Library

40 3 0
                                    

GEMURUH langit, deburan angin, menggelegar menyapu luasanya samudra. Rintihan air yang terjatuh beraroma pekat pada tanah yang tertimpa. Hujan, mendung, dan petir. Jakarta dilanda hujan namun kota ini tetap tak ada ubah, ramai dengan klakson yang tak sabaran.

"Belum di jemput, Tha?" Dryl melirik Ergantha yang sejak tadi masih setia di Perpustakaan, duduk dengan setumpuk buku dengan rambut sebahu yang tergerai. Tak jarang ia menyisipkan helaian rambut ke belakang telinga.

"Lo belum pulang?" tanya Ergantha berbalik fokus pada buku yang tengah dibaca. Ia pikir, Dryl ikut pulang ketika Arlin, Rere, Arjun dan Frans berpamitan.

"Mau gue ajarin, enggak?" Dryl menarik kursi di depan Ergantha menduduki diri.

"Dari kemaren gue minta selalu dikacangin. Duduk samping gue!" Tak ada nada ramah selalu ketus.

Akhir-akhir ini mereka semua belajar semakin giat, mengingat ujian kelulusan sebentar lagi, tak terkecuali dengan Ergantha. Meski bel sekolah telah berbunyi sejak dua jam lalu, ia masih betah duduk di Perpustakaan. Semua dilakukan demi terbebas dari masa SMA, dari penjara yang disebut rumah dengan dalih kuliah.

"Kenapa sih, harus ada pelajaran genetika. Enggak paham gue."

"Segala sesuatu yang ada di bumi itu selalu ada sebab dan akibatnya." Dryl membuka lembaran buku yang tengah Ergantha pelajari sejak tadi.

"Kepala gue mau pecah." Ergantha menghela nafas, mengadahkan kepala melihat langit-langit yang ditutupi oleh atap. "Padahal kita masih SMA, tapi tuntutannya udah banyak! Belajar, belajar, belajar—Trauma gue dengernya."

"Ke Surga, Tha, kalau Lo enggak mau repot."

Ergantha mendecih. "Lo yakin kalau Surga itu ada?"

"Manusia enggak harus meninggal dulu untuk tahu kematian itu ada." Jawab Dryl menatap Ergantha, bertanya-tanya apa isi kepala perempuan yang hobi membuatnya khawatir ini. "Lo enggak percaya Tuhan?"

"Percaya," seru Ergantha datar. "Tapi, kalau Tuhan itu beneran ada, kenapa enggak pernah menunjukkan keadilan-Nya."

"Ketetapan Tuhan itu enggak ada yang enggak baik, masalahnya Lo mau ambil hikmah apa enggak... Everything happen for a reason, Tha."

Ergantha terdiam, memikirkan hikmah apa yang bisa diambil dari skenario Sang Pencipta. Tak pernah di harapkan hadir di tengah keluarga dengan trauma masa kecil penuh pengekangan. Entah apa alasan Tuhan membiarkannya hidup di tengah-tengah manusia yang berkelakuan minus.

"Lain kali aja gue ajarin. Sepuluh menit lagi perpustakaan tutup." Dryl akhirnya memilih menutup buku yang baru saja dibuka padahal ia sendiri yang menawarkan.

Menjaga jarak dengan Ergantha hal yang harus di lakukan. Mata Dryl tengah di ajarkan untuk membangun iman malah berlari tanpa beretika.

Dryl sengaja tak berpacaran dengan siapapun agar imannya bisa terjaga. Sudah melewati fase itu, ia pikir sudah berhasil. Nyatanya perjalanan masih panjang. Bukan tak berpacaran yang sulit, namun menjaga diri untuk tak berikhtilat dengan lawan jenis secara berlebihan.

"Dasar pelit!" Ketus Ergantha.

Dryl memang murid teladan pelit dan sialan!

"Gue udah di jemput, mau pulang bareng enggak?" Dryl menawarkan.

"Ya maulah!" Ergantha merapikan meja memasukkan beberapa alat tulis ke dalam tas, mendahului Dryl berjalan.

"Tapi mampir toko buku baru gue anter pulang."

"Terserah!" Dryl tersenyum mengikuti langkah Ergantha dari belakang. Perempuan yang bertingkah layaknya penguasa ini memiliki ribuan tarikan daya magnet. Mungkin sebab dari wajah cantiknya atau mungkin dari rambut hitam yang tak pernah diubah.

Kerap kali Dryl mengamati tingkah abstrak Ergantha, seperti berani menggoda laki-laki dalam satu waktu kabur melarikan diri. Ergantha memang selalu bertingkah layaknya perempuan nakal. Ia kerap menampakkan diri sebagai pencinta wine, gemar mabuk dalam pahitnya wiski, tak jarang mencoba rokok sebagai identitas agar terkesan berani, padahal perempuan ini tak pernah berani keluar dari jalur.

"Tertarik sama bukunya, Tha?" Tanya Dryl melihat Ergantha yang tengah memegang buku mengenai Uwais al-Qarni.

Mereka tengah memasuki toko buku, dimana Dryl mencari buku pendalaman materi sedang Ergantha yang awalnya tak tertarik justru terlihat berdiam diri cukup lama di rak buku bertema Sirah.

"Lo tahu siapa Uwais al-Qarni?" Ergantha teringat tokoh yang pernah Pati sebut sebagai idola dari Tyo—si anak Panti.

"Tabi'in yang dikenal sama penduduk langit." Ergantha mengernyit mengisyaratkan akan ribuan pertanyaan.

"Tabi'in itu gelar atau profesi—ini cuma tokoh cerita dalam dongeng?"

"Tabi'in itu orang Islam awal yang semasa hidupnya ada di masa hidup yang sama seperti Nabi Muhammad.  Atau enggak sesudah masa Nabi Muhammad hidup dan enggak ada pengalaman ketemu sama Nabi secara langsung."

"Lo bisa pake bahasa manusia aja enggak, sih? Ribet banget gue dengernya." Ergantha meletakkan kembali buku Uwais al-Qarni. Dari penjelasan Dryl tadi, kepalanya tak dapat mencerna apapun. Ergantha jadi mengurungkan niat mengulik lebih dalam.

Entah kepala Ergantha yang tak pernah berpikir atau pemilihan kosa kata yang Dryl gunakan terlalu rancu. Yang jelas, Dryl harus mulai melatih kesabaran untuk Ergantha. Perubahan ketertarikan Ergantha kepada sosok Uwais al-Qarni seperti membawa angin segar. Mungkin dengan ini Ergantha bisa menemukan tumpuan untuk berpijak.

"Intinya, Uwais al-Qarni itu bukan tokoh dongeng dalam cerita fiksi." Dryl mengambil kembali buku yang Ergantha letakkan.

"Lo mau beli?" Tanya Ergantha heran.

"Buat Lo, biar enggak sensi kalau mau tahu tentang Uwais al-Qarni."

"Sekalian sama yang lain kalau gitu." Ergantha mengambil beberapa buku dengan dua rangkap. Mengulurkan kepada Dryl enam buku yang tiga diantaranya berjudul sama.

"Gue cuma mau beliin satu, Tha. Lagian kenapa jadi double gini ambilnya."

"Lo juga harus baca. Jadi kalau nanti gue gagal paham bisa tanya secara langsung."

"Maruk!" Dryl menggeleng,  menyeimbangkan badan agar tak terjatuh dengan tumpukan buku yang Ergantha berikan.

"Mau masuk Surga, 'kan? Ya udah, jangan protes—Enggak ada sejarahnya kalau surga itu berisi orang pelit." Ergantha kemudian berlalu meninggalkan Dryl.

******************

Yuk konsisten yukkkk 💆💆💆

Tumpuan Tanpa Tepi (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang