Bab 36 : Eksistensi

35 3 0
                                    

SEGELAS cokelat hangat mengepul berasap. Perpaduan manis dan pahit yang bertentangan menyatu dalam sebuah rasa. Tak ada Bir ataupun wine dalam liburan Ergantha kali ini. Sudah lama sekali Ergantha acuh kepada minuman memabukkan itu. Perkataan Adzkan semalam seperti sindiran halus yang terbayang di kepala Ergantha-'perempuan dewasa sudah harus pandai memilih,' begitu peringat Adzkan.

Selama 18 tahun hidupnya, Ergantha tak pernah paham arti bertanggungjawab yang sesungguhnya. Jiwa terkekang kian merengek untuk dibebaskan, jadi perihal hal lain tak pernah ia pikirkan. Terombang-ambing dalam sebuah esensi mimpi kebebasan yang entah akan berwujud seperti apa.

Entah dimulai dari mana untuk bisa menapak tanpa adanya rasa terkekang. Kebencian terhadap cinta pertama yang ia sebut Papa, terlampau dalam. Tak ada ikatan antara Ayah dan anak yang tersisa, mungkin hanya sebatas darah dan gen yang terlanjur mengalir.

"Kesambet kamu ngelamun pagi-pagi!" Pati menggosok rambut dengan handuk. Ia baru saja selesai membersihkan diri, dan justru menemukan Ergantha melamun di depan balkon.

Villa yang mereka tempati memiliki tiga kamar, terletak di lantai dua. Dimana pemandangan perbukitan akan jelas terlihat begitu membuka jendela ataupun dari atas balkon. Satu-satunya Villa yang penuh kenangan hangat. Mengingatkan Pati bahwa dunia yang pernah ia sebut rumah nyata adanya.

"Kalau minum tuh duduk, Tha." Pati menarik kursi menduduki diri, tak lama di susul oleh Ergantha.

"Buat Mas Pati." Ergantha mengulurkan cokelat hangat yang baru saja ia teguk sekali.

"Buat yang baru dong, Tha. Masa buat saudara sendiri dikasihnya yang udah kamu minum."

"Enggak jadi!" Ketus Ergantha berniat menarik kembali gelas tersebut. Barulah Pati menyerobot, mengambil cokelat hangat buatan adiknya itu.

Padahal Pati hanya bercanda, ia tak keberatan sama sekali. Menggoda Ergantha salah satu cara yang ia lakukan guna memperbaiki komunikasi mereka. Sayang, satu-satunya adik yang ia miliki selalu ketus jika mereka berhadapan. Tak seperti ia berbicara kepada orang lain.

"Mas Pati dulu pernah Having s*x sama perempuan?" Pati menyeburkan minumannya. Baru dua kali teguk namun Ergantha sudah melayangkan pertanyaan yang membuat jantungan.

"Kamu punya pacar?! Jangan macem-macem ya, Tha- kamu tahu kan kalau dosa yang bisa beranak anak pinak itu zina. Di dalam Al Qur'an mendekati Zina aja enggak boleh apalagi melakukan Zina, itu sama aja-"

"Aku lagi males berantem," Potong Ergantha. "Dan aku juga enggak tertarik buat pacaran."

Kecuali sama Mas Adzkan. Lanjut Ergantha dalam hati

"Kamu enggak kepikiran buat-"

"Kabel di otakku masih bagus, enggak tahu deh kedepannya." Pati mengatur nafas, menurunkan gelas yang ia tegah pegang. Ergantha kerap kali membuatnya seperti pasukan perang yang harus bersiap atas kedatangan tembakan nuklir ataupun ranjau yang mematikan.

"Denger ya, Tha. Zina itu-"

"Mas Pati pernah?" Ergantha bertanya sekali lagi, memotong ucapan Pati. Menautkan tangan menilisik lebih jauh kenakalan Pati di masa lalu.

"Ya enggaklah," sanggah Pati. "Gila aja kamu! Meskipun Mas pernah bandel, tetep aja tahu aturan main kalau sama perempuan enggak boleh bablas. Kalau istilah dari Ustadz Budi, perempuan itu untuk dimuliakan, bukan untuk di rusak."

"Sekelas Casanova yang buaya tingkat antar club' masa iya, kalau pacaran enggak ngapa-ngapain."

"Gini ya, Tha..." Pati menegakkan posisi duduk, tak terima masa lalunya dituduh. Dulu mungkin ia pemuda yang tersesat, namun otaknya masih ia pergunakan agar tak membuat onar dengan merusak seorang perempuan.

"Mas ini masih inget punya adik perempuan di rumah. Lagian dulu, setiap bulan pacarnya pasti ganti."

"Halah, enggak yakin aku- pacarin anak orang enggak ada bedanya sama ganti oli mobil!"

"Gini-gini Mas tiap putus juga selalu baik-baik, enggak pernah sentuhan fisik yang berlebihan."

"Berarti cium dan raba sering?" Skeptis Ergantha.

"Tha!" Suara Pati menggelegar. "Allah udah nutupin aibnya Mas rapat-rapat, Mas ini masih punya rasa malu buat enggak sesumbar perihal dosa yang enggak perlu dibanggakan!" Baru kali ini Ergantha melihat kakak laki-lakinya menggebu-gebu berbicara perihal Tuhan.

"Dulu Mas Pati dapet mimpi apa sampai bisa hijrah begini... Kayaknya dulu over banget sama Alkohol." Tanya Ergantha tetap memasang wajah tak ramah.

Ergantha jadi teringat, dulu Pati sosok yang hobi mabuk-mabukan. Kenakalan Pati justru lebih sangat di luar batas normal jika harus dibandingkan dengan Ergantha. Kaka laki-lakinya ini kerap mengadakan pesta di club' ternama, secara terang-terangan. Bergonta-ganti pasangan dengan kehidupan glamor di malam hari. Namun tiga tahun belakangan, Pati berubah menjelma menjadi pemuda yang giat bekerja. Tak lagi ada pesta, alkohol dan perempuan.

"Atau jangan-jangan Mas Pati di diagnosa hidup enggak lama lagi?!"

"Sembarangan." Sanggah Pati tak terima. Mengguyur rambut setengah basahnya guna menjernihkan hati agar tak berapi. Ergantha memang harus dihadapi dengan stok kesabaran unlimited.

"Hijrah itu enggak perlu harus mimpi dulu, enggak perlu nunggu harus mau mati. Hijrah itu proses bagian hidup yang sejatinya setiap orang akan temui, Tha. Cuma ya, tinggal manusianya aja mau ambil hidayah dari Allah apa enggak. Mau hijrah karena Allah, apa mau stuck tertipu sama kehidupan di dunia."

"Hijrah itu sebenarnya enggak perlu alasan, kalau manusia benar-benar menggunakan akal secara tepat... Manusia jelas-jelas diciptakan sama Allah untuk beribadah, diturunkan syariat juga untuk menjaga laki-laki dan perempuan guna menjaga kemaslahatan bersama."

"Akal, Tha. Semuanya berawal dari akal, tapi akal juga harus punya batasan dalam berpikir."

Ergantha dapat melihat mata Pati yang damai berbicara perihal hijrah. Seperti tengah membagikan hal bahagia yang ia tahu.

Ergantha jadi merenung, apa semua manusia yang dekat dengan Tuhan bisa menemukan ketenangan. Apa nantinya jika mengenal Tuhan ia tak tertekang....

"Tumben banget bahasanya Mas Pati enggak ribet." Sindir Ergantha.

"Ngutip dari Kajiannya Ustadz Budi." Balas Pati membanggakan sang guru. "Lagian ngapain kamu tanya-tanya begitu?"

"Penasaran... Eksistensi Tuhan enggak terlihat tapi beberapa orang yang dekat sama Tuhan terlihat damai."

Pati kembali menyeruput cokelat hangat. Tengah memikirkan cara agar Ergantha tak tersesat memahami eksistensi keberadaan Allah. Kalau ia jelaskan dengan teori akal seperti penjelasan Ustadz Budi, Ergantha bisa-bisa tak lagi tertarik dengan penggunaan bahasa dari Pati. Tapi mungkin jika Ustadz Budi yang menjelaskan, otak bebal Ergantha dapat tersentuh.

"Aku enggak lolos seleksi buat kuliah di Melbourne." Kata Ergantha yang justru membuat Pati sujud syukur.

"Alhamdulillah ya Allah!"

"Ck! Udah ku duga pasti Mas Pati seneng kalau aku gagal!"

"Enggak usah sedih... Kuliah di Jakarta aja, nanti Mas bakalan kasi tahu Papa supaya pertunangan kamu sama Frans dibatalin." Sumringah Pati seperti tengah mendengar berita paling bahagia dalam hidupnya.

"Dasar minim simpati!" Ergantha berdecak berniat meninggalkan Pati.

"Tha!" Panggil Pati sebelum Ergantha mencapai pintu balkon. "Daftar di pesantren punyanya Ustadz Budi aja ya, nanti kuliahnya pilih di sekitar Bandung."

Pesantren? Ck! Mana sanggup Ergantha.

**************

Yahuuuu
Back again sama Ergantha yang masih samar-samar sama tumpuan

Kuy ramaikeun, kalo cerita ini berkenan bisa banget di share ke temen-temen kamu

Jari mana jari, enggak ada yang tergelincir buat ngevote dan komen nih💅💅💅

See you hari Jum'at,

Tumpuan Tanpa Tepi (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang