TERHITUNG tiga minggu Ergantha habiskan untuk bersenang-senang di Bandung. Bermain bersama anak-anak Panti dan menghabiskan waktu bersama Najwa. Baru saja berharap kesenangannya akan terus berlanjut, hadirnya Pati justru seakan membawa berita bencana. Kakak laki-lakinya yang baru saja selesai mengurus pembukaan cabang baru, membuat ultimatum perihal kepulangan mereka tiga hari lagi.
Sudah tak pernah repot mengurusinya selama di luar kota, sepulangnya justru mengamuk tak jelas.
"Apa susahnya sih, Tha! Mas cuma minta kamu buat mampir ke rumah Eyang!"
Ergantha baru saja pulang dari Panti bersama Adzkan dan Najwa, kemudian Pati sudah memberikan ultimatum yang menjengkelkan. Harus mengunjungi rumah almarhumah Eyang Puti!
Cih, tak Sudi!
"Aku udah ziarah ke makam Eyang." Balas Ergantha berniat memutus percakapan. Ia ingin tidur saja.
"Duduk!" Titah Pati begitu melihat Ergantha akan beranjak. "Mas belum selesai bicara."
Beruntung Pak Kurniawan belum pulang, jadi Ergantha tak begitu malu melihat kelakuan kakak laki-lakinya yang tak tahu tempat.
"Enggak ada sepuluh menit kamu bisa nyampe rumah Eyang!" Ergantha melarikan pandangan ke sekitar, mencoba mencari Adzkan dan Najwa. Sepertinya saudara adik-kakak itu juga sengaja memberikan waktu untuk Ergantha dan Pati untuk berdebat di rumah mereka.
"Seharusnya kamu bisa berdamai sama dendam kamu sendiri, Tha. Dia Eyang kita, Ibu dari Mama!"
Berdamai, katanya? Untuk ukuran Pati yang tak paham apa yang Ergantha lalui mungkin pelafalan ikhlas begitu mudah terucap.
"Kamu kenapa sih, Tha?! Susah banget diatur... Mas cuma minta kamu ke rumah almarhumah Eyang Putri!"
Ergantha tertawa sinis, "Tiga Minggu ninggalin aku di rumah temen Mas Pati tanpa handphone dan dompet. Terus minta aku ziarah ke makam Eyang— sekarang Mas Pati marah-marah cuma karena aku enggak mampir ke rumah almarhumah Eyang Putri...."
Ergantha tak habis pikir, mengapa Pati begitu ia ingin mendatangi rumah yang kini diisi sekumpulan nenek sihir— Tantenya. Toh Eyang Putri sudah meninggal dan rumah itu sudah diisi oleh sekumpulan manusia yang hobi bersilat lidah.
"Mas cuma pengen kamu tahu, kalau Eyang juga sayang sama kamu, Tha. Dengan kamu kerumah Eyang kamu bakalan lihat kamar yang sudah Eyang siapin untuk kamu."
"Kalau pun aku tahu ternyata punya kamar di rumah Eyang, terus apa? Enggak ada yang berubah!" Baik kenangan pahit selama tujuh tahun, ataupun segumpal dendam yang terlah terfermentasi— tak kan ada yang berubah.
"Kamu harus tahu, Tha... Eyang juga sayang sama kamu. Di rumah almarhumah Eyang Putri, kamu dibuatkan kamar sendiri. Eyang bahkan janji, kalau kamu sudah SMA dia bakalan jemput kamu, cucu kesayangannya."
"Mas Pati jangan buat aku semakin muak— kalau Eyang memang sayang sama aku, harusnya tujuh tahun lalu bukan cuma Mas Pati yang dikasih tempat berteduh!"
"Kamu tahu sendiri, Tha, Papa enggak mengijinkan Eyang untuk bawa kamu. Eyang enggak punya kuasa apapun."
"Tapi dia bisa untuk melindungi Mas Pati, 'kan?" Ergantha tersenyum kecut. "Eyang bukannya enggak bisa, tapi karena aku memang enggak bernilai apapun di matanya."
Ergantha muak, benar-benar muak mendengar kembali cerita penyesalan Eyang Putri. Tak kan ada yang berubah. Toh, hidupnya sudah cacat menunggu janji-janji Eyang untuk terealisasi.
"Tha!" Bentak Pati begitu Ergantha kembali berniat pergi.
"Apalagi, sih! Mas Pati enggak malu ngajakin aku debat di rumah orang?! Mana handphone ku! Udah cukup aku nurut sama aturan Mas Pati!"
"Enggak! Mas bakalan tetap tahan semua akses kamu sampai kamu ke rumah almarhumah Eyang Putri." Ancam Pati.
"Terserah! Aku bisa pulang sendiri sampai Jakarta. Aku masih punya badan yang bisa ku jual untuk laki-laki hidung belang."
Pati mengumpat mendengar ancaman Ergantha, lagi-lagi ia sulit mengamalkan agar kata-kata buruk tak keluar dari mulutnya. Ia bukan lagi Pati yang hobi alkohol dan berkata kasar, namun emosinya masih tak dapat tertata dengan baik.
"Kita pulang!" putus Pati, tak ingin membuat Ergantha semakin gila. Ia sampai tak sadar mengadakan debat sengit di rumah orang lain.
"Aku bisa pulang sendiri!"
"Jangan gila, kamu! Mas enggak suka kalau kamu ngancem-ngancem begini!"
"Terus apa? Kalau enggak nurut, Mas Pati mau nampar aku lagi?!"
"Ergantha!" Bentak Pati menampilkan rona wajah yang semakin memerah menahan amarah.
"Atau sekalian kurung aku sama seperti apa yang Papa lakuin..." Balas Ergantha tak kalah sengit. "Kalau cuma bikin hidupku tambah repot, harusnya Mas Pati menetap di Bandung. Hidupku jauh lebih nyaman tanpa adanya Mas Pati!"
Perasaan menyayat seketika merasuk ke ulu hati terdalam. Amarah dan kecewa seakan menjadi satu dalam diri Pati. Ia tak tahu apa yang membuatnya lebih marah, kelakuan dan ucapan Ergantha atau mungkin tingkah diri yang tak disadari selama ini.
"Aku mau pulang sendiri!" Putus Ergantha kemudian berlari menuju lantai atas—kamar Najwa.
Ergantha pikir, Najwa tak ada di kamar, namun adik kesayangan Adzkan itu tengah duduk di atas kursi belajar dengan masih mengenakan pakaian dari Panti tadi. Jelas Najwa mendengar semuanya.
Ergantha jadi kesal sendiri. Ia tak suka jika emosi yang tengah dikubur terlihat oleh orang lain. Kesakitan akan sebuah dendam terdengar sampai di telinga orang asing. Ia ingin membawa rasa sakitnya sampai mati, tak ingin ada satupun yang mengetahui hatinya yang tengah cacat.
Bergegas memasuki kamar Mandi mengganti Abaya milik Najwa dengan pakaiannya sendiri. Ergantha enggan menatap Najwa. Ergantha menahan tangis, tak membuka suara dan tak ingin menjelaskan apapun, ia hanya ingin kembali ke Jakarta. Kembali meneguk Pinot Noir, Bir dan Wiski.
"Pulangnya dianter Mas Adzkan ya, Tha." Ergantha diam membisu, berpura-pura sibuk membereskan barang-barangnya.
"Tha... Ergantha." Najwa menyentuh bahu Ergantha.
"A... Aku... Bisa pulang sendiri." Bukannya bersikap tegar, air mata Ergantha justru kembali membasahi pipi.
Ah, sial! Ergantha tak suka menjadi cengeng!
"Kamu enggak apa-apa?" Pertanyaan Najwa tercekat untuk bisa terjawab.
Tak pernah ada yang menanyakan keadaannya, sekitar hanya sibuk mengomentari, mendikte dan mendebat. Lantas begitu Najwa menanyakan keadaanyanya, Ergantha menangis tanpa bisa dicegah.
Ia lelah, tak tahu akan apa.
Najwa duduk memeluk Ergantha, mengelus punggung remaja rapuh itu. Seusia Ergantha dulu, ia juga pernah berada di tepian tanpa tumpuan. Dulu, sesaknya terasa sampai tak bisa berpijak, tak tahu harus pulang kemana disaat tempat berteduh sudah seperti singgah sana.
Kini memang sudah terobati, namun masa-masa kelam itu sebuah memori sebagai pembelajaran. Najwa berharap, Ergantha bisa berhasil melalui masa-masa tanpa tumpuannya.
Sebab, tak semua orang berhasil melalui ujian. Beberapa berhasil, sisanya tergelincir.
Semoga saja Ergantha termasuk orang yang tak tergelincir.
********************
Syulit banget buat konsisten nulis, belum mager, belum riset belum ini belum itu💆
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumpuan Tanpa Tepi (COMPLETED)
SpiritualErgantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengu...