Bab 20 : Es Krim & Bir

65 4 0
                                    

ADZAN berkumandang, menandakan waktu subuh tengah hadir di tengah-tengah mimpi yang enggan terbangun. Bisikan Syaitan seakan berdesis untuk menutup mata, menarik selimut dan mengabaikan panggilan bercengkrama dengan Sang Pencipta.

"Tha... Bangun, Sholat dulu." Ergantha hanya mengumam, tak lama membuka selimut. Mulai meregangkan otot, berharap matanya akan terbuka. Terlanjur mengaku sudah tak halangan kepada Najwa, ia tak bisa beralasan lagi.

Memasuki kamar mandi, dan membasuh wajah. Berharap rasa kantuk dapat menghilang.

"Udah Wudhu, Tha?" Tanya Najwa begitu Ergantha keluar dari kamar mandi.

Membasuh muka, termasuk wudhu, kan? Batin Ergantha membenarkan.

Ergantha mengangguk tanpa suara. Mengambil mukenah dari Najwa. Sholat subuh dilakukan berjamaah dengan Ergantha yang mengikuti gerakan Najwa. Untungnya dia masih sedikit mengingat rakaat untuk setiap waktu sholat, meski kerap kali tertukar.

Sisanya Ergantha hanya komat-kamit tak jelas. Doa yang ia baca pun, hanya Al-fatihah.

Selepas Sholat, Najwa melakukan tilawah hafalan— membaca untaian-untaian merdu dari ayat suci Al-Qur'an. Ergantha jadi ingin. Ia ingin berdoa kepada Tuhan, agar menjadi sosok seperti Najwa. Namun jarak yang terbentang terlampau jauh, sebab ia tak tahu harus memulai seperti apa.

Mengenakan Jaket, Ergantha berniat keluar berjalan di sekitar kompleks. Menuliskan sebuah memo izin kepada Najwa karena tak ingin mengganggu.

Udara selepas hujan hal yang terbaik untuk dinikmati. Aroma tanah yang menguap bercampur dengan tiupan semilir angin. Jika di kota Metropolitan mungkin Ergantha tak akan bisa merasakan sensasi udara yang seperti ini.

Tak sadar akan langkah kaki yang terus berjalan, sampai pada di tempat yang Ergantha sendiri tak tahu ada dimana. Ergantha berdecak, Ponsel dan dompet miliknya masih di tangan Pati. Matahari akan mulai terbit, perut Ergantha berbunyi tak tenang. Kelaparan di tengah kota orang menjadi hal terburuk.

Menepi di minimarket, Ergantha sadar tak punya sepeser uang ditengah cacing-cacing yang kelaparan. Ingin kembali kerumah Najwa justru lupa jalan pulang. Rasanya Ergantha ingin menangis saja.

Lama berdiam diri, terlihat seorang laki-laki tengah berlari kecil menuju kearahnya. Diburu rasa kelelahan dengan keringat yang menetes dari pelipis laki-laki tersebut. Laki-laki itu hanya mengenakan topi dan kaos yang dilapisi kemeja tak berkancing disaat udara menusuk sampai ke tulang.

"Ergantha..." Panggil Adzkan dengan nafas yang tak teratur.

"Mas Adzkan, kenapa bi—bisa disini?" Gelagap Ergantha mencoba memperjelas pengelihatan dengan jantung yang bereforia. Cukup lama Ergantha bisa membuka suara.
 
Adzkan menetralkan dada yang berdetak tak tenang sedari tadi. Sepulang dari Masjid, Najwa mengatakan Ergantha sedang pergi berjalan-jalan sekitaran kompleks seorang diri, menunggu tiga puluh menit berlalu, Ergantha tak juga kembali. Jadilah mereka berpencar mencari Ergantha.

"Lupa jalan pulang?" Adzkan bertanya. Setengah mati ia mengkhawatirkan Ergantha— sudah seperti adik sendiri.

Ergantha tengah bereforia, entah karena hadirnya Adzkan atau karena ia tak terkena percikan amarah. Biasanya Pati akan memarahinya habis-habisan jika menghilang secara tiba-tiba. Namun tidak dengan Adzkan. Keringat membasahi pelipis, dengan iris mata yang menatapnya lekat— tak lama. Irama nafas yang tak beraturan dengan topi baseball yang menambah aura ketampanan.

Jantung Ergantha kembali bertindak kampungan.

"Ergantha..." Suara Adzkan terlampau merdu ditelinga.

"Kamu mau beli sesuatu?" Tanya Adzkan sekali lagi kepada Ergantha yang tak berkutik.

Krckk....

Tumpuan Tanpa Tepi (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang