PULANG-sebuah rutinitas yang harusnya menjadi pengisi daya disaat raga tengah lelah dengan dunia. Menjadikan rumah sebagai tempat ternyaman dengan kehangatan orang-orang di dalamnya. Namun tak semua insan mendapati rumah yang mereka impikan.
Kembali ke Jakarta, kembali bertemu Papa. Paruh baya berusia 55 tahun itu kini mengenakan tongkat, terpasang perban di kaki dengan uban yang mulai terlihat. Aura keegoisan masih terpahat rapi dengan raga yang terlihat melemah.
Pernah sekali Ergantha menemukan Papa yang tengah tersenyum sumringah, bercakap-cakap dengan tukang kebun. Senyuman itu hanya terlihat dulu, disaat Mama masih berada diantara mereka. Dulu kehangatan memang ada dan rasanya bisa bertahan jika saja Papa tak egois dan semena-mena.
Ergantha memang pernah berharap, laki-laki yang ia sebut Papa lenyap dalam satu waktu. Hilang dari kehidupan agar kebebasan Ergantha tak terenggut. Melihat raga yang kini di topang oleh sepasang tongkat justru membuat Ergantha tak nyaman.
"Kenapa kamu? Belum pernah liat Papa sakit begini?" Ergantha melarikan pandangan. Segera menyuapkan satu sendok nasi ke dalam mulut.
"Jangan terlalu lama di Jakarta, kuliah kamu bisa terbengkalai, Ergantha." Seru Papa.
Papa sepertinya baik-baik saja, kakinya yang hanya terkilir tiga hari lalu tak mengendurkan sifat otoriter sedikit pun.
"Kapan kamu mau menetap di Jakarta?" Tanya Papa beralih ke Pati. Mereka tenagh makan siang bersama layaknya keluarga harmonis yang penuh kehangatan.
"Setelah urusan di Bengkel selesai." Balas Pati meneguk air.
"Malam nanti kita akan bertemu keluarga Husman Gumara. Kamu harus mempersiapkan diri." Menghela nafas, Pati ingin mendebat namun ia urungkan.
"Kamu berangkat lebih awal, Papa dan Ergantha berangkat bersama."
"Aku enggak ikut!" Ergantha menolak. Satu mobil bersama Papa bukan solusi yang baik untuk emosi yang tengah ditata. "Yang ikut perjodohan kan Mas Pati, jadi aku enggak perlu ikut."
"Kamu tetap ikut, Ergantha!" Titah Papa tak ingin di debat.
"Enggak! Aku enggak-"
"Tha..." potong Pati menyela. "Kamu cuma perlu ikut, duduk tanpa ada paksaan."
Ergantha mendengus, ia tahu Pati masih kesal dengan pertengkaran terakhir mereka. Kakak laki-lakinya itu tenagh merajuk, dan Ergantha, tak peduli!
***
Tanpa banyak pertengkaran sengit, Ergantha ikut bersama Papa. Duduk bersisian di dalam mobil dengan Pak Arman yang menyupiri mereka. Hening di tengah malam yang Ergantha benci. Menatap hills yang ia kenakan tak sengaja sejajar dengan kaki Papa yang masih terbalut perban.
Bukannya istirahat, justru sibuk menjodohkan masa depan orang. Ergantha membatin.
"Kamu kecewa karena cuma kaki Papa yang keseleo?" Ergantha berdecak kecil. Selalu saja ia disalah pahami.
"Harusnya sekalian aja gegar otak biar enggak heboh ngurusin masa depan orang." Sarkas Ergantha dengan suara mengecil agar tak terdengar jelas.
Papa menggeleng, mendelik menatap Ergantha, "Selama di Pesantren kamu diajarkan apa... Sopan santun sama orang tua tidak bisa!"
Papa akan selalu mendikte apapun yang Ergantha lakukan. Memiliki pemikiran yang bersebrangan, mendebat apapun yang Ergantha utarakan. Mereka memang tak sejalan, meski terikat kuat dalam ikatan darah.
"Pak, di depan ada kecelakaan." Ucapan Pak Arman mengehentikan perdebatan sejenak. "Mirip mobilnya den Pati, Pak!"
Pak Arman menepikan mobil meminta izin untuk mengecek kecelakaan tunggal yang sudah terpasang police line. Ergantha mengambil ponsel di dalam tas, mencoba menghubungi Pati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumpuan Tanpa Tepi (COMPLETED)
SpiritualErgantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengu...