Bab 48 : Takdir yang berbeda

51 5 0
                                    

KEHILANGAN sosok perempuan yang paling dicintai seperti mimpi buruk yang ingin dikubur dalam-dalam. Istri sekaligus ibu dari anak-anak yang tak dapat ditandingi dengan apapun. Tak ada kata yang tepat mengabarkan duka dari arti sebuah kehilangan. Sedih, perih, sesak—ketiga simbol kehilangan itu bahkan tak bisa menjabarkan bagaiman runtuhnya dunia Pramana.

Harus hidup di tengah kenyataan kehilangan sang istri. Berjuang dalam titik kewarasan yang hampir tak berbentuk. Pati dan Ergantha, satu-satunya alasan Pramana dapat berdiri kembali. Anak-anak yang ia cintai dan kasihi tanpa alasan.

Pramana sadar, luka lebih dulu tumbuh dalam jiwa kedua anaknya. Ia yang terlalu lama mengabaikan Pati, hingga anak laki-lakinya hampir menjadi pecandu. Ia yang enggan memandang anak perempuannya sebab terlampau mirip dengan mendiang sang istri, hingga Ergantha menjadi si pembuat onar.

Pati yang mulai beranjak remaja, menjadi pemuda penuh ranjau. Melakukan hampir segala macam kenakalan remaja. Melarikan diri ke rumah Eyang sampai pulang dalam keadaan mabuk. Hal ini membuat Pramana memutuskan Ergantha dan Pati harus dididik secara terpisah.

Keputusan yang ia pikir sebuah solusi, nyatanya menjadi boomerang yang secara perlahan meledak tanpa pasti. Berakibat pada Ergantha, anak perempuan satu-satunya menjadi sosok yang kehilangan arah.

Memang apa yang bisa dilakukan seorang Ayah disaat sang anak tak lagi menatapnya dengan hangat selain menunjukkan kekuasaan yang ia miliki. Menjadikan sifat otoriter dan tak ingin dibantah sebagai tameng bahwa ia bisa berhasil membesarkan kedua anak-anaknya.

Sekali lagi, keputusan yang Pramana bentuk bukanlah sebuah solusi. Kembali menorehkan luka yang kian mendalam.

Pramana selalu terbayang jika saja saat itu ia pulang lebih awal, mungkin sang istri tak akan mati sia-sia hanya karena menyelamatkan Ergantha yang akan tenggelam. Mungkin kedua anaknya akan lebih terarah, mungkin Ia dan Ergantha tak akan dihantui rasa bersalah. dan mungkin ia tak akan kehilangan dirinya sendiri.

Tujuh tahun silam, Pramana kehilangan segalanya—Istri, anak dan dirinya sendiri.

****

Ergantha menghabiskan liburan semester dengan mengunjungi Pati di rumah sakit. Sudah tiga hari semenjak di Operasi Pati belum sadarkan diri. Terpasang gip di kaki dan tangan, dengan kepala yang berbalut perban. Tak ada lagi raut jenaka dan jail yang terpahat.

"Kapan kamu kembali ke Bandung?" Tanya Papa yang tengah sibuk memeriksa dokumen. Laki-laki paruh baya ini masih menjadi pekerja yang tak kenal waktu dengan rutin mengunjungi Pati di jam makan siang.

"Lusa." Kata Ergantha membenarkan infus.

Hening, terdengar lembaran yang di bolak balik tak sabar dari Papa dengan Ergantha yang sibuk dengan ponsel. Mereka hanya berbicara seperlunya tanpa basa-basi untuk mengisi hampa.

"Sudah makan?" Tanya Papa bernada datar. Ergantha mengerjap, butuh waktu untuk menjawab pertanyaan Papa.

Kapan terakhir kali Papa menanyakan hal remeh seperti ini...

"Kamu sudah makan?" Tanya Papa sekali lagi.

"Belum laper." Balas Ergantha singkat.

"Manusia butuh makan, bukan menunggu kapan ingin untuk makan." Papa menatap Ergantha, melepaskan berkas dokumennya.

Menghela nafas, Ergantha beranjak dari kursi. Ia tak ingin berdebat lebih jauh dengan Papa.

Ergantha tak benar-benar pergi mencari makanan. Ia hanya duduk di luar ruangan Pati di rawat. Menatap jendela yang langsung terhubung menuju halaman rumah sakit. Menerka takdir apa yang tengah menunggunya di masa depan.

Tumpuan Tanpa Tepi (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang