BAHAGIA, sedih, kecewa-serangkaian emosi yang menghidupi manusia.
Ergantha pernah bahagia, kala dewasa yang ia panggil Mama menawarkan indahnya dunia. Memberikan senyum terindah sampai dengan keluarga terbaik yang pernah ia miliki. Tapi itu dulu, disaat bernafas hal yang paling mudah untuk dilakukan. Kini, untuk berpijak saja, Ergantha tak tahu harus bertumpu pada apa.
Semenjak kepergian Mama-Papa dan Pati berubah. Dimulai dengan Papa yang selalu bekerja tanpa jeda, memasang wajah benci begitu melihat Ergantha. Lambat laut, Pati ikut berubah, menjadi remaja dengan pergaulan seronok, kemudian di bawa pergi oleh almarhumah Eyang untuk berbenah. Tersisa Ergantha yang berumur 10 tahun. Tercekik dan tersiksa oleh kondisi.
Para dewasa-mereka itu kejam, bagi Ergantha saat berumur sepuluh tahun. Mereka si dewasa mengaku berkuasa dan mengekang jiwa yang tengah mencoba tumbuh.
Sampai dengan Ergantha bertemu Adzkan. Laki-laki yang tak menatap rendah kepada siapapun. Laki-laki yang dapat ia kategorikan sebagai seorang pelindung, penengah dan penenang.
Mungkin Ergantha akan membangun impian barunya, seperti menjadikan Adzkan tempat satu-satunya berlabuh. Dimulai dari lebih mendekat ke dalam zona lingkungan Adzkan-menetap di Bandung, hidup di lingkungan yang religius.
"Coba dulu selama satu tahun. Kalau kamu enggak betah disini, Mas bakalan bebasin kemanapun kamu mau."
Ergantha menatap bangunan arsitektur di tengah-tengah asrinya udara sejuk. Tidak buruk, pikir Ergantha begitu Pati mengantarkan sampai ke daerah Pesantren Al-Bara Fathurrahman. Salah satu pesantren yang pendirinya Ustadz Budi dan Opa Hamzah. Tempat dimana dulunya Ibu Dryl mengajar para santriwati.
"Jarak dari sini ke rumahnya kak Jwa, enggak jauh, kan?" Ergantha memastikan.
"Dua puluh sampai tiga puluh menit, jaraknya sama kayak kamu mau ke Kampus Bina Karya." Kata Pati memaparkan. "Ke Panti Buk Menik juga cuma butuh sepuluh menit."
"Kalau bosen di Pesantren kamu bisa main ke Panti ataupun ke rumah Najwa. Tapi harus izin sama Ummu Fatih dulu. Kegiatan di Pesantren juga harus kamu ikuti. Pelajaran Sirah sampai akhlak juga bakalan ada setiap Minggunya."
"Iya, iya! Aku udah hafal sama aturannya." Gerutu Ergantha.
"Kamu yakin serius masuk Pesantren?"
"Emang aku masih bisa nolak setelah sampai disini!"
"Ya enggak bisa lah!" Sangsi Pati. "Inget, jangan malu-maluin Mas yang udah minta izin ke Ustadz Budi dan Ummu Fatih. Jangan main kabur-kaburan juga." Ergantha memutar bola mata, malas mendengar ocehan Pati.
Setidaknya Ergantha lega, ia tak benar-benar harus mendekam 24 jam di dalam pesantren ini. Ia masih bisa leluasa membuka jilbab di saat keluar dari arena pesantren. Dikala waktu yang lain ia akan pergi mengunjungi Adzkan, Najwa dan Anak-anak Panti.
Pesantren tak seburuk itu, Ergantha mensugesti diri.
"Mas kayaknya enggak bisa nemenin kamu lama-lama. Hari ini nikahannya Najwa sama Makkih." Langkah Ergantha mendadak terhenti diikuti oleh Pati.
"Biar Mas aja yang hadirin, kamu disini aja. Ummu Fatih udah nungguin di ruangan beliau."
"Aku mau ikut!" Seru Ergantha bersikeras.
"Tha, nikahannya Najwa digelar di rumah sakit." Ergantha mengernyit tak paham. "Pak Kurniawan koma udah jalan dua Minggu."
Apa Adzkan baik-baik saja. Terbesit kekhawatiran dalam diri Ergantha.
"Ya udah ayok!" Ergantha memutar arah, berniat kembali ke dalam mobil.
"Ummu Fatih udah nunggu, Tha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumpuan Tanpa Tepi (COMPLETED)
SpiritualErgantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengu...