Bab 9 : Them

50 10 6
                                    

SAVAGE, berotot— tak berhati. Ergantha merapalkan mantra, agar ia tak selemah lebaran tisu dalam genangan. Berulang kali menegakkan badan agar jiwa yang rapuh tak kembali hadir. Cukup sekali ia menjadi remaja cengeng di hadapan Pati. Terlalu memalukan sampai ia enggan kembali bertemu.

Ergantha terlalu banyak berbicara untuk hal yang tak seharusnya ia tuturkan. Hawa dingin di ruang bawah tanah membuatnya lupa arti sebuah kewarasan. Lagi pula, apa pentingnya mengekspresikan luka masa lalu. Pati tak butuh tahu dan tentunya ia tak peduli mengenai Ergantha.

Cih, Pati memang begitu, 'kan?

Sejak Ergantha sadarkan diri, Pati tak menanyakan apapun. Namun sikapnya menjadi semakin berlebihan, menanyakan makanan apa yang Ergantha inginkan. Jika bisa, Ergantha ingin meminta alkohol kepada Pati, tentunya ia terlalu waras untuk membangunkan singa yang sedang jinak.

Terhitung empat hari Ergantha absen dari sekolah dan ponselnya sudah seperti kerlap-kerlip lampu jalanan yang tiada henti memberikan notifikasi. Kelima temannya sangat tak sabaran. Tak mendapat balasan dari Ergantha mereka justru mendatangi kediaman Ergantha.

"Gue hampir jantungan Thata sayang, puasa ketemu Lo empat hari rasanya dunia runtuh." Arjun memengang dada berpose seakan terkena anak panah.

"Gue pikir Lo kena sindikat penjualan organ, gara-gara enggak punya duit buat beli Pinot Noir." Frans berseru santai, duduk di depan komputer Ergantha— tanpa permisi.

"Gue sih udah yakin Lo baik-baik aja, enggak mungkin diculik yang ada bikin repot." Kata Arlin berasumsi.

Ergantha tertawa samar, empat hari ia menangis di tebus dengan hadirnya sosok sahabat yang menghiburnya.

"Re pikir Thata diculik Om-Om...." Rere bernada manja memeluk Ergantha erat.

Ergantha melepas paksa pelukan berlebihan dari Rere, "Sembarangan Lo, Re."

"Mau makan dimsam enggak Tha, biar gue pesenin. Umi mertua tersayang nanyain, nih." Tawar Arjun melempar tatapan genit.

"Rere mau dong, Arjun! Bilangin ke Umi Afifah Rere juga mau."

"Kudu jadi calon bini gue dulu, mau enggak?"

"Ih, ogah... Rere mau cari yang seiman."

"Lo kata gue apa? Gini-gini Tuhan gue Allah SWT. Nabinya Rasulullah Muhammad SAW." Arjun membusungkan dada.

Rere mendengus, "Bisanya cuma ngaku, giliran sholat Jum'at Arjun selalu bolos. Malu sama KTP...."

"Iya deh yang paling rajin sholat,  dinasehatin jangan pakai yang seksi, malah sensi!"

"Ini enggak seksi ya, Arjun! Emang otaknya laki-laki aja yang kemana-mana, enggak bisa lihat perempuan... Makanya mata tuh di jaga, biar enggak zina mata!"

"Ya Lo, jadi perempuan juga harus sadar diri, dong! Minta laki-laki jaga mata, enggak mau diajak kerja sama. Kesana kemari cuma pake kain kurang bahan, apa-apa pake yang ngepas dan ngejiplak. Lo kata laki-laki patung yang di bundaran HI!"

"Jadi semua perempuan harus pake mukenah... Emang ada jaminan kalau pake mukenah sekalipun enggak ada laki-laki yang jelalatan?" Kini Erganthata ikut menyuarakan pendapatnya.

"Enggak gitu, Thaa, sayang..." Arjun mengubah intonasinya menjadi genit. "Maksud gue, perempuan juga harus ikut berkontribusi... Biar apa-apa jangan cuma nyalahin pihak cowok."

"Laki-laki kan emang suka jelalatan, Arjun... Mau perempuan pakai apapun, kodratnya laki-lakiemang susah jaga mata." Rere kembali mengomentari.

"Ya kalau mau pakai bikini juga enggak apa-apa, itung-itung sedekah buat laki-laki—sedekah dosa jariyah buat diri sendiri."

"Arjun! Ih!"

"Dih!"

"Sesama gengnya Fir'aun bisa enggak sih jangan berisik!" Arlin mengintrupsi. "Tuh, contoh pengikut kaum Umar bin Khattab. Udah dapet hidayah enggak lagi mencaci-maki saudara sendiri. Minum khamar aja sampe resign. Marahnya aja udah berwibawa. Teladan banget enggak tuh, Ketua OSIS kita." Arlin menyindir Dyrl yang kini anti dengan minuman berakhol.

Dryl yang sedari tadi sibuk dengan laptop hanya memberi gesture agar mereka tak berisik.

"Ada yang mau bir, biar gue pesenin... Itung-itung jadi suplemen buat kalian yang debat." Frans berceloteh sembarang, sengaja memperkeruh keadaan. Mereka sontak mempelototi Frans.

Jika Frans menawari ini disaat Dryl tak ada, mereka sudah pasti akan berteriak senang. Sayang, Dryl sudah memberi peringatan. Jika Dryl sedang ikut berkumpul maka tak boleh ada makanan atau pun minuman haram yang tersaji, sudah pasti ia akan mendokumentasi dan melaporkan kepada komite Sekolah beserta kepada orang tua masing-masing.

Frans saja ingin menendang Dryl dari grup pertemanan mereka. Namun Dryl terlalu menyedihkan untuk tak diajak berteman, lagi. Sudah menjadi siswa teladan, pintar, disukai guru dan jika tak memiliki teman brengsek, bukannya hidup Dryl akan terlalu sempurna....

Agap saja, berteman dengan Dryl sebagai sebuah pembuktian bahwa manusia tak ada yang sempurna. Termasuk ketika Dryl mengatakan ingin mengikuti jejak Umar bin Khattab namun masih hobi bergeming dengan teman pembawa barak besi.

"Kita makan dimsam, minumnya bajigur enak kali ya?" Arlin memberi opsi.

"Lah, jangan bajigur deh, tua banget kesannya. Soda aja." Tolak Arjun.

"Re lagi diet, maunya yogurt."

"Bir aja, sekalian ngerayain sembuhnya Ergantha." Frans menawari.

"Gue udah minta Mbok Min bawain air putih... Yang mau minum bir bisa ganti aja pake bajigur." Dryl menyela, seraya menutup laptop.

"Enggak asik banget, Lo. Cuma bir doang enggak bikin mabuk kali." Frans berseru tak setuju.

"Enggak bikin mabuk tapi temen Lo yang ada tipsy." Balas Dryl sengit. Frans mengangkat tangan tak peduli.

"Jadi mau bajigur apa enggak nih?" Arlin mengintrupsi kembali memancing perdebatan.

Mereka asik dalam obrolan ringan penuh perdebatan. Tak ada satu pun yang bertanya penyebab kaki Ergantha di perban, tak ada yang berkomentar goresan di pipinya disebabkan oleh apa. Mereka bukannya tak tahu, hanya saja pura-pura tak peduli dan Ergantha menyukai itu.

Menyukai teman-temannya yang berlagak tak penasaran.

****************


Temen-temen nya Ergantha tuh kepo bangettttttt, sebenarnya. Apalagi Dryl! Cuma mereka sadar diri harus ada ruang dalam masa penyembuhan luka pengasuhan.

Tumpuan Tanpa Tepi (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang