Bab 41 : Duka tanpa Tangis

42 4 4
                                    

SEDIH tanpa disakiti, pilu tanpa perasaan yang pasti. Ergantha menatap langit, seakan mencoba berbicara kepada Tuhan. Bintang tengah germerlap menggantikan hadirnya mentari. Beberapa kali menghela nafas, menatap awan yang tak lagi berkeliaran. Malam seperti menusuk dalam duka. Merasa sedih, tapi tak tahu harus berbuat apa.

Ergantha masih berada di rumah Almarhum Pak Kurniawan bersama Pati menemani Najwa dan Adzkan menayambut para pelayat. Kini keadaan sudah sepi, tersisa Pati, Adzkan, Najwa dan Makkih yang tengah menyantap makan malam bersama. Sedang Ergantha, memilih keluar ke arah halaman seraya memberi makan ikan-ikan di kolam. Ia tak tahan berada dalam suasana kesedihan. Semua orang terlihat seakan baik-baik saja. Padahal Ergantha tahu, mereka semua berduka.

Tapi dewasa memang begitu, kan? Selalu bertingkah seakan kuat dengan segudang kerapuhan.

Para dewasa itu lebih baik menangis bersama daripada berkumpul dengan jiwa yang mengawang. Terlampau terasa sesak untuk Ergantha yang tak biasa menahan segala emosi.

"Ikannya bisa mati kalau kamu kasih makan terus." Suara bass menenangkan membuyarkan pikiran Ergantha.

Adzkan mengambil bungkus makanan ikan tanpa menyentuh tangan Ergantha. Menutup dan berniat menyimpannya di tempat semula.

"Kenapa Mas Adzkan enggak nangis?" Pertanyaan Ergantha menghentikan langkah Adzkan. Ia kembali berbalik, menatap Ergantha.

Perempuan anarkis dan keras kepala yang tak bisa menutupi segala emosi ini memang tak pernah segan-segan mengutarakan segala isi kepala—dan Adzkan menyukai Ergantha yang terus terang begini.

"Kenapa sih, laki-laki dewasa itu gengsinya selangit. Emang kalau nangis bakalan dicap cengeng?!"

"Tidak semua kesedihan harus  ditampakkan, Ergantha."

"Mas Adzkan kalau sedih boleh nangis, enggak usah di tahan-tahan. Lagian disini udah enggak ada perempuan yang Mas Adzkan taksir. Jadi imagenya bakalan tetep terjaga."

Adzkan tersenyum, melemparkan tatapan ke atas langit, "Dan saya enggak perlu nangis di depan kamu."

Tengah berduka saja, Adzkan masih sempat memberi peringatan akan batasan mereka. Padahal Ergantha tak mengharapkan apapun, ia hanya tak suka Adzkan menahan segala beban tanpa diluapkan.

"Aku enggak minta Mas Adzkan luapin semuanya di depanku." Kata Ergantha dengan nada yang lebih melembut. "Mas Adzkan cuma harus jujur sama emosi yang ada—enggak perlu nanggung semuanya sendiri."

"Kenapa kamu hobi mengurusi perasaan orang lain?"

"Aku cuma hobi mengurusi perasaan orang yang kusayang."

"Saya sudah seperti kakak laki-laki kamu, begitu?"

"Tsk!" Ergantha menatap sebal, dengan hati yang gamang. Ia tak bisa menatap Adzkan jika tatapan laki-laki ini penuh dengan segala kesedihan dan senyuman kepalsuan. Ketenangan yang dibuat-buat mengingatkan Ergantha pada tatapan Mama disaat ia akan meninggalkan Ergantha selamanya.

Perasaan sedih, membuat hati Ergantha terasa sakit. Melihat Adzkan yang tengah berduka namun memasang tameng seakan baik-baik saja. Sesak, Ergantha tak bisa melampiaskan kepedihannya selain dengan menangis.

"Hei, saya bercanda, Ergantha... Kenapa kamu malah menangis." Ujar Adzkan agak panik. Ia benar-benar tak berniat membuat Ergantha menjadi bersedih begini.

Ergantha menunduk, mengusap air mata. Ia merutuki diri yang tengah terlihat seperti anak remaja. Satu sisi hatinya terasa sakit dan sesak melihat Adzkan yang berduka tanpa bersedih.

Kenapa laki-laki ini tak pernah membiarkan perasaannya tersampaikan dengan baik. Cinta bertepuk sebelah tangan kepada Asih  dibiarkan tanpa diungkap, sedihnya juga harus ditahan tak ingin melihat Najwa tumbang. Ergantha ingin memeluk Adzkan—jelas tak bisa—bukam muhrim!

"Saya minta maaf, Ergantha, kalau ucapan saya keterlaluan... Saya benar-benar tidak berniat menyinggung."

Ergantha menggeleng, "Aku laper!" Dalihnya. Mengusap air mata secara kasar.

Adzkan mengulurkan sapu tangan untuk Ergantha, "Ini pernah dipinjem sama perempuan lain?" Tanya Ergantha disela-sela menarik ingus dengan sapu tangan milik Adzkan.

"Sering." Ergantha menatap tak suka. Memberikan sapu tangan bekas yang ia gunakan kembali, tanpa sopan santun untuk mengembalikan dalam keadaan bersih.

"Aku laper, mau makan, jadi mau masuk duluan!" Kata Ergantha terpenggal. Meninggalkan Adzkan sendiri setelah tangisnya reda.

Imagenya sudah hancur, tersisa bocah ingusan yang hobi menangis dan mengeluh.

"Sering dipinjam Najwa." Ujar Adzkan membersihkan sapu tangannya di keran dekat dekat kolam ikan. Ia berucap berbisik kepada ikan-ikan setelah Ergantha masuk kedalam.

Ergantha menarik—entah sejak kapan.

***

Epilog

Dahaga yang terasa kering mengharuskan Ergantha turun ke lantai bawah. Memelas dan keras kepala agar dibiarkan menginap bersama Najwa, tereksekusi dengan baik. Pati tak mudah dihadapi, namun sifat keras kepala Ergantha juga susah diatasi selain menuruti keinginannya.

Baru saja menengguk air dari kulkas, ia mendengar suara geresak gerusuk dari ruangan gudang, disamping dapur. Berjalan mengendap-endap dengan pentungan wajan di tangan. Ergantha berniat mencaci maki pencuri yang berani masuk tanpa izin disaat keluarga Adzkan tengah berduka.

Ia yakin suara itu seperti pencuri!

Langkah Ergantha justru mendadak terhenti, berganti dengan tubuh yang mematung. Menggenggam pegangan wajan dengan semakin kuat.

Bahu kokoh yang selalu terlihat tegar itu bergetar hebat. Wajah tenangnya berubah menjadi guratan kesedihan yang mendalam. Ergantha ikut tercekat melihat laki-laki yang selalu bertingkah menenanggkan itu terlihat rapuh. Tak ada lagi kepura-puraan atas duka yang sedang menjelma.

Laki-laki menawannya duduk meringkuk, bersandar pada dinding. Memegang erat bingkai photo Keluarga. Tak ada lagi duka yang ditahan ataupun tatapan memendam kesedihan.

Bagaikan ikut tersihir, pelupuk Ergantha terasa perih. Tak terhitung sudah berapa kali ia menangis dalam satu hari. Ergantha baru tahu, ada sebuah rasa yang membuat hatinya tersayat dengan melihat laki-laki ini tersakiti.

Pada akhirnya, Ergantha membiarkan Adzkan menangis dalam diam. Sunyi dengan tangis yang terdengar pilu. Dalam malam yang seakan ikut menyisihkan waktu untuk kesedihan Adzkan.

Tak apa jika Asih ditakdirkan membuat Adzkan bahagia. Asal tangis penuh pilu itu tak terdengar menyayat lagi.

******

Chap yang agak pendek, sependek emosi Ergantha kalau lagi ngereong💆

Ergantha today ↙️↙️↙️

Ergantha today ↙️↙️↙️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kuy ramaikeun 💅

Tumpuan Tanpa Tepi (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang