•[Grief Insert]•

655 69 5
                                    


...

Kebas mendekap seluruh tubuh. Ada rasa sakit teramat sangat yang melingkupi area jantung hingga pangkal kaki.

Sakit sekali.

Dengan keadaan buruk seperti itu, Chimon di nyatakan sadar. Keajaiban Tuhan, kalau para dokter boleh berpendapat.

Awal kesadaran yang buruk, Chimon merasa kehilangan fokusnya entah mengapa. Pikiran serta otot-ototnya terasa mengambang. Tepat ketika ia membuka mata, beberapa orang berpenampilan serba putih serentak menyerbu—lalu pada akhirnya, tubuh ringkih ini kembali harus merasakan rasa sakit akibat jarum suntik.

Papa, kata itu yang pertama kali tercetus dari belah bibirnya. Ia ingin bertemu dengan Gun, atau Off. Namun untungnya beberapa tenaga medis itu mengerti dan segera pergi untuk menghubungi nama yang bersangkutan.

Aku merindukan papa

Ia seperti baru saja terbangun dari tidur panjang. Tidur ternyaman yang pernah Chimon rasakan di sepanjang ia hidup. Sedih bila mengingat sebab apa ia bisa sampai terbaring dan tertidur di tempat ini—jika mengingatnya, rasa-rasanya ia tak ingin membuka mata.

Ugh! Lagi, sensasi menyakitkan itu datang lagi. Seperti ada yang menekan ulu hatinya sampai akan pecah.

Chimon memejamkan matanya erat-erat.

Tap! Tap!

“S-sayang?”

Suara itu ... Chimon lekas kembali membuka mata dengan seulas senyum tipis. Ia melihat Gun, papanya yang terlihat berjalan kikuk dari arah pintu—namun ia tak bisa menyahut, tenaganya tak cukup untuk berteriak.

“Chimon ... sayangku.” Gun menunduk beberapa detik dengan derai air mata setelah tiba di sebelah sisi ranjang putranya. “Putraku.”

Chimon ikut meneteskan air mata—tanpa dapat berbuat apa-apa. “P-pa.”

“Papa di sini sayang.” Gun lekas mengecup permukaan kening sang putra sampai lama. Menyalurkan perasaan bahwa ada kekhawatiran yang benar-benar membunuh. Gun ingin Chimon tau bahwa ia benar-benar merindukannya. “Papa di sini.”

“Maaf.”

Gun cepat-cepat menggeleng setelah mengusap wajahnya. Beralih menggenggam telapak tangan Chimon erat-erat. “Maaf untuk apa sayang? Sudah jangan pikirkan apapun.”

Air mata sungguh teramat sulit di bendung, di tambah ruangan intensif ini amat dingin suhunya. Wajah Gun telah basah sepenuhnya.

“P-pa ... papa hiks.” Chimon menangis pelan. Seperti ini rasanya mendapatkan perhatian ternyata. Seperti ini rupanya melihat wajah Gun yang penuh kekhawatiran.

“Jangan menangis sayang, papa akan ikut menangis nanti.” Gun kembali merengkuh tubuh Chimon hati-hati. “Terima kasih sudah mau bertahan.”

Ugh! Chimon menelan gejolak muntah dari kerongkongannya hingga menyisakan sensasi nyeri yang menusuk pencernaan.

“Chimon.”

Suara itu ... itu adalah suara Off. Pria itu tampak melenggang dengan seulas senyum kaku, kemudian menyentuh pergelangan kaki si manis di balik selimut putih.

Rasa sakit ini seperti menguap begitu saja, sungguh. Chimon kembali meneteskan air mata. Kedua orang tuanya ada di sini.

“Papi,” sapa Chimon lirih.

Off mengangguk lekas. Beralih memberi kecupan pada sisi wajah sang putra. “Papi di sini.”

“Jangan ... jangan tinggalin papa, pi. Jangan.”

IRIDESCENT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang