55. LAMPION

68.1K 9.5K 1.8K
                                    

Sea memilah sampah dan membuangnya ke tempat pembuangan sampah terpisah antara organik dan anorganik. Tempatnya berada di samping bangunan panti, Sea bahkan masih memakai celemek panti asuhan.

Melvin datang, ikut membuang sampah di samping Sea. Terik matahari setinggi pukul dua belas siang membuat cahaya di tempat itu cukup terang, Sea sampai menyipitkan matanya saat melihat Melvin.

"Manda nggak ke Canada," kata Melvin membalas tatapan Sea. "Tapi ke psikiater."

Netra Sea melebar, pikirannya kacau. Membayangkan hal itu saja membuat semua dugaannya buyar, Manda tidak sebahagia yang ia kira.

Melvin menyerongkan tubuhnya menghadap Sea. "Hidup Manda nggak semudah yang lo liat, Sea. Tante Nita bahkan selalu nyalahin dia karena nggak bisa bawa lo pergi."

"Lo tau banyak soal Manda ya."

Melvin mengangguk. "Awal gue kenal sama dia di RSJ, Manda juga sakit, cuma mental dan lingkungannya aja yang beda. Dia nggak pernah ada niatan buat nyakitin lo, Sea. Keadaan yang bikin dia kayak gitu."

"Tapi maaf, itu semua nggak bisa gue maklumin. Nggak seharusnya seseorang lampiasin amarahnya ke orang lain."

"Lo nggak mau maafin Manda?"

"Bukannya nggak mau, cuma liat aja kedepannya nanti. Gue nggak bisa maafin orang secepet itu, maafin Raga sama lo aja gue masih butuh waktu, tapi ya nggak gue tunjukin secara terang-terangan."

"Sorry," Melvin berkata dengan nada yang begitu berat, sangat menyesal sudah bertindak jahat pada gadis di hadapannya itu.

Manda berhenti bergerak, mendengarkan itu semua dari balik dinding sisi yang lain. Ia menutup bibirnya, lantas mundur menyandarkan punggungnya di dinding.

Tangannya mendadak bergetar dengan mata memerah dan berkaca-kaca, entah apa yang membuatnya merasa sangat cemas dan ketakutan, yang jelas, ia terlihat sedang menyembunyikan sesuatu.

"Manda," panggil Melvin begitu melihat Manda saat cowok itu beranjak usai Sea pergi dari tempat tadi.

"Gue, gue harus gimana?" Suara Manda bergetar, membuat Melvin sadar akan keanehan Manda.

"Manda, kenapa?" Melvin memegang kedua bahu Manda, mencoba melihat mata lentik gadis itu.

"Gimana kalau Sea tau soal Papa? Dia, dia nggak akan pernah maafin gue, Mel. Dia nggak akan maafin gue seumur hidup."

"Maksud lo apa?" Melvin memegang tangan Manda yang terus bergetar.

"Gue takut, Mel. Gimana kalau Sea--"

Melvin menarik Manda ke dalam dekapannya, memapahkan kepala Manda ke dada bidangnya. "Shttt, gue bakalan selalu ada di sisi lo. Jadi, lo nggak perlu takut."

"Lo tau, Mel?" ucap Manda mulai tenang. "Waktu gue mau nenggelemin diri di kolam, itu bukan karena gue ga bisa lupain Aga, tapi karena gue nggak sanggup."

Melvin membuat jarak, menangkup pipi Manda. "Nggak sanggup karena?"

"Papa," Air mata Manda menetes begitu saja. "Papa yang bunuh Kak Samu."

***

"Shut, meong!" celetuk Raga manakala Sea berjalan melewati jalan taman dekat parkiran. "Meong!"

Sea terus berjalan hingga sebuah batu kecil berhasil mengenai kepalanya. Sea mengaduh, kemudian berbalik dengan wajah jengkel. "Siapa?!"

Kepala Raga menyembul dari balik mobil hummer hitam milik Veron, ia tersenyum seperti anak kecil. Raga menoleh ke kanan dan ke kiri, seolah sedang memastikan tidak ada seseorang yang melihatnya.

RAGASEA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang