50. SELESAI, LAUT

69.1K 10.7K 1.7K
                                    

Dean berdiri ketika Sea keluar dari ruangan Raga, cowok yang sejak tadi duduk di ruang tunggu itu mendekati Sea. Dean memberikan inhaler baru pada Sea. "Yang lama udah habis, 'kan?"

Sea termenung, ia hanya mengerjap sambil menerima inhaler dari Dean. "Thanks."

"Samu," Dean menahan ucapannya karena mendengar deru langkah cepat dari arah kanan.

Ternyata Sabita, wanita itu berlari memasuki ruangan Raga tanpa menghiraukan Sea yang sebelumnya berdiri di depan pintu.

Sabita berhenti di depan Raga yang berdiri di samping ranjang, napasnya tersengal, ia memberi intruksi agar dua orang yang mengikutinya menunggu di luar.

"Kenapa lagi?" tanya Sabita tegas. "Pura-pura sakit biar Mama bisa maklum kalau kamu gagal bertahan di peringkat satu?"

"Mah," Sorot mata Raga meneduh, segores luka mulai menghiasi hatinya. Entah cara bicara Sabita yang cukup menyakitkan, atau kenyataan tentang wanita itu yang sama sekali tidak peduli padanya.

"Raga beneran sakit, Mah. Apa Mama sama sekali nggak peduli? Yang Mama pikirin sekarang bahkan cuma nilai, nilai, nilai, dan nilai. Raga muak, Mah!" sentak Raga di akhir kalimat.

"Kalau kamu kayak gini terus, kapan mau maju, Raga?!" ucap Sabita penuh penekanan. "Mama kan udah bilang, kamu harus sempurna kaya Papa--"

"Papa! Papa! Papa! Selalu aja Papa! Kenapa?!" Suara Raga semakin meninggi.

Sabita mundur, merasa terkejut karena ini pertama kalinya Raga meninggikan intonasi bicaranya di depan wanita itu. "Raga--"

"Mau sampai kapan aku harus pura-pura jadi Papa, Ma?!" Suara Raga bergetar, diikuti sepasang matanya yang kian memerah.

"Aku capek! Bertahun-tahun aku nggak sanggup tapi aku paksain buat lanjut! Mama tau sekeras apa aku berusaha buat menyesuaikan ekspektasi Mama? Di mata Mama, aku selalu jadi Papa. Mama nggak tau kan kalau aku benci sama bayam? Aku harus minum itu setiap hari karena Papa suka itu."

"Mama juga nggak tau kan seberapa kerasnya aku belajar. Setiap malem aku ga bisa tidur karena takut aku ga bisa menuhi ekspektasi Mama. Papa pinter, jadi aku harus pinter. Papa baik, makanya aku harus terlihat baik di depan Mama."

"Kenapa? Kenapa aku ga bisa jadi diri sendiri bahkan di depan Mamanya sendiri? Sampai kapan aku harus selalu pura-pura jadi sosok Raga yang Mama mau? Aku capek, Mah."

Raga mengambil ponselnya, lantas menyodorkan foto Papanya. "Mama ga bisa liat apa? Aku sama Papa adalah orang yang berbeda, wajah kita nggak sepenuhnya sama. Papa ya Papa, aku ya aku, Ma."

"Mau sampai kapan aku harus jadi Papa di depan Mama?" Satu bulir air jernih itu menetes, membasahi pipi Raga. "Papa udah mati, Mah!"

Sabita bergetar, ucapan Raga terlalu membuatnya syok, seakan-akan kembali dikejutkan oleh kematian mendiang suaminya.

"Kenapa harus Raga? Namaku, kenapa harus Raga?!" bentak Raga semakin menjadi. "Raga udah mati, Mah! Dia udah mati bareng ledakan di lab waktu itu!"

PLAK! Sabita semakin bergetar usai menampar Raga sangat keras hingga beberapa dokter memasuki ruangan Raga. Matanya memerah, dua tetes sekaligus mulai mengalir membasahi pipinya.

"Aku sakit-sakitan sejak hari itu," Suara Raga melirih. "Dan Mama malah makin nyakitin aku, harusnya aku ikut mati aja bareng Papa."

***

"Kak Samu," panggil Sea melihat wujud Samudra dengan mata kepalanya sendiri.

Pria itu benar-benar kacau, darah kering menghiasi kepalanya, juga jaket hitam dan celana senada yang terlihat sangat kotor oleh darah.

RAGASEA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang