Bab 4

2.3K 119 0
                                    

Davin masih mendiami Hanna setibanya mereka dirumah. Wanita itu bingung harus berbuat apa. Ia juga heran kenapa dirinya dilarang dekat dengan Arish. Padahalkan Arish itu adik iparnya. Menurut Hanna wajar-wajar saja jika ipar terlihat dekat. Itu tandanya keluarga mereka memang harmonis.

" Mas, jangan diemin aku kayak gini dong. Kamu gak sayang lagi ya sama aku ". Mata wanita itu mulai berkaca-kaca. Ia juga tak faham mengapa dirinya bisa secengeng ini. Apa mungkin ini karena hormon kehamilannya.

Davin menoleh. Ia tersentak karena melihat mata istrinya yang berkaca-kaca. " Hey, Sayang " pria itu membawa Hanna kedalam pelukannya.

" Mas gak sayang lagi sama aku? " Hanna mulai terisak. Wanita itu memegang pinggiran jacket suaminya dengan erat.

Davin gelagapan. Ia menjadi merasa bersalah. Salahnya juga karena terbawa suasana. Seharusnya ia tak mendiami Hanna karena rasa tak sukanya kepada sang adik.

" Saya sangat menyayangi kamu. Jangan berkata seperti itu. Maaf " ucapnya sambil mengusap dan menciumi puncak kepala istrinya dengan sayang.

" T-tapi mas diemin aku ". Wanita itu masih terisak.

Davin semakin erat memeluk istrinya. Kecupannya di kepala wanita itu semakin dalam. " Maaf, Saya gak akan diemin kamu lagi. Sudah ya, hm "

Hanna menenggelamkan kepalanya didada bidang sang suami. Menghirup aroma tubuh suaminya yang bagai candu itu.

" Janji? " ucapnya serak.

" Iya " jawab Davin lembut. Ia menarik wanitanya untuk sedikit menjauh. Menatap iris coklat itu dengan dalam, mata Hanna terlihat memerah. Ia semakin merasa bersalah.

Pria itu mendekatkan wajahnya pada sang istri. Mata Davin terpaku pada bibir kemerahan milik istrinya. Itu terlihat sangat menghoda. Rasanya ia ingin menggigitnya dan menyesap dengan kuat.

Bayangan dikepalanya semakin menjadi. Wajah mereka tinggal beberapa senti lagi. Hanna sudah menutup matanya sejak beberapa detik yang lalu.

Tiba-tiba wanita itu merasakan benda kenyal dan hangat yang menempel dibibirnya. Benda itu perlahan bergerak dan sepersekian detik gerakan itu menjadi sangat menuntut.

Lumatan-lumatan mulai terjadi. Davin menekan kepala istrinya yang masih tertutup kerudung itu untuk mempedalam ciuman mereka. Entah sejak kapan kedua tangan Hanna melingkar dileher suaminya. Kaki kecil wanita itu sedikit diangkat. Tingginya yang hanya sebatas pundak Davin itu membuat ia terlihat sangat kecil.

Davin mengerang disela ciumannya. Jika sudah seperti ini, ia tidak akan bisa berhenti.

Pria itu menggigit pelan bibir istrinya agar terbuka. Kegiatan mereka semakin panas. Namun sayangnya, hal itu harus terhenti karena terdengar suara bel yang ditekan berkali-kali.

Davin melepaskan tautan mereka. Ia mengusap bibir Hanna yang sedikit membengkak akibat ulahnya. Suara bel itu kembali terdengar. Kali ini dengan tidak sabaran karena si penekan berkali-kali menekan bel nya dengan cepat.

Davin mengacak rambutnya frustasi. Ia mendengus dan beranjak dari tempatnya. Sebelum mencapai pintu, ia menoleh sebentar pada istrinya. Penampilan wanita itu sudah acak-acakan. Kerudungnya terbuka dan bibirnya membengkak.

" Jangan keluar dari kamar. Kamu bersih-bersih lebih dulu, lalu istirahat. Saya kebawah sebentar ". Setelah mendapat anggukan dari Hanna, Davin keluar dari kamarnya dan menemui orang yang telah mengganggu kegiatan mereka.

Awas saja jika tidak penting. Davin berjanji akan memberikan bogem pada orang itu.

***

" Ada apa? " Davin menatap datar orang yang saat ini tengah duduk dihadapannya.

" Eh, ini pak, ada berkas penting yang harus ditandatangani " ucap seseorang itu yang merupakan seorang pria.

" kenapa tidak besok saja? Saya kan sudah bilang sama kamu kalau saya tidak ingin diganggu untuk hari ini " ucapan Davin masih terdengar datar. Bahkan bagi pria itu suara Davin serasa menusuk ditelinganya. Sangat tajam.

Pria yang merupakam sekretarisnya itu tiba-tiba berkeringat dingin. Ia sebenarnya juga merasa tak enak karena telah mengganggu hari libur bosnya. Namun, harus bagaimana lagi. Berkas yang harus segera ditandatangani ini sangatlah penting. Ini menyangkut proyek besar perusahaan mereka.

" Ma-maaf pak. Tapi ini menyangkut proyek kita di Semarang. Dokumennya harus segera diserahkan hari ini juga " Davin menghela napasnya lelah. Ia lantas mengambil dokumen itu dan menandatanganinya dengan cepat.

" Sudah. Kamu boleh pulang ". Usir pria yang akan segera menjadi ayah tersebut.

Sabar Revan. Batin pria itu.

" Baik, pak. Terima kasih dan maaf telah mengganggu waktu libur anda. Permisi ".

Selepas kepergian sekertarisnya itu, Davin menghempaskan punggungnya disandaran sofa. Kepalanya ia tengadahkan keatas langit-langit.

" Mas, tamunya kemana? " tanya Hanna yang baru saja turun dari lantai dua rumahnya.

" Pulang ". Jawab Davin singkat.

Hanna mengernyit " Kok cuma sebentar. Siapa memangnya? ".

" Revan ".

Wanita itu mengangguk. Ia menghampiri suaminya lalu ikut duduk di sofa.

" Mas... " panggil Hanna.

Davin menoleh dan mengangkat sebelah alisnya. " Kenapa? ".

Hanna terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu yang sebenarnya sejak tadi ingin ia katakan. Wanita yang akan segera menjadi ibu itu menggaruk belakang lehernya kaku.

" Kenapa sayang, hm? ". Davin menegakkan tubuhnya dan sedikit menggeser duduk mendekat.

" Itu, anu...em, aku pengen makan sesuatu " ucap Hanna lirih hampir tak terdengar.

Davin semakin mendekatkan dirinya pada sang istri setelah mendengar hal tersebut. Dengan antusias ia mengambil tangan istrinya dan menggenggam penuh harap. " Mau makan apa. Saya akan beli-kan ".

Hanna menggeleng pelan. Ia tak ingin makanan yang dibeli. " Aku pengen nasi goreng buatan kamu ". Suara wanita itu semakin memelan. Ia tahu suaminya tak begitu pandai memasak. Meskipun bisa, itu hanya memasak air dan makanan instan.

Pria disamping Hanna itu terdiam. Menimang apakah harus menuruti ngidam pertama istrinya atau tidak. Pasalnya, ia tak bisa memasak sama sekali. Jika makanan instan, it's okay. Tapi kalau nasi goreng, ia tak yakin. Dirinya juga sanksi jika nanti nasi goreng buatannya itu bisa dimakan atau tidak.

Ayolah, ia tak ingin meracuni istrinya dengan makanan ala-ala zaman purba.

" Gak bisa yang lain aja sayang ngidamnya. Masakan saya pasti gak enak nanti. Saya gak mau kamu makan makanan yang gak jelas rasanya ". Davin mencoba bernegosiasi.

" Tapi aku pengennya nasi goreng buatan kamu, mas " istri Devan itu menundukan pandangannya. Entah mengapa saat mendengar penolakan halus suaminya, tiba-tiba mata Hanna terasa memanas.

Air mata juga perlahan naik dan menyebabkan pandangan wanita itu memburam. Davin yang mengetahui hal tersebut merasa terkejut. Rasanya akhir-akhir ini sang istri jadi mudah menangis karena hal-hal kecil.

Tapi ia juga faham apa penyebabnya. Itu pasti karena hormon ibu hamil. Rata-rata wanita yang sedang mengandung memang memiliki mood yang naik turun. Bahkan cenderung sensitive terhadap hal yang sebenarnya tidak begitu penting.

Perlahan tangan Davin menarik tubuh istrinya mendekat. Membawa wanita kesayangannya itu kedalam pelukan hangatnya. " Ssstt, saya buatkan ya. Tapi, kalau rasanya tidak enak, jangan dimakan, oke? ". Ucapnya lembut. Davin merasakan jika Hanna menganggukan kepalanya cepat. Pria itu tersenyum. Mudah sekali mengembalikan mood wanita hamil ini.

" Makasih, Mas. Aku sayang kamu ".

Sukabumi
4 Februari 2022

Perfect Parents: Hanna's Family ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang