Bab 22

1.3K 107 3
                                    

Malam ini, Hanna baru saja menunaikan ibadah sholat isya. Kebetulan baby Zayn sudah tidur sebelum Azan, ia jadi leluasa untuk menunaikan kewajibannya.

Membicarakan soal kewajiban, Hanna jadi teringan akan suaminya. Apakah Davin baik-baik saja di Jakarta? apakah suaminya itu bisa menyelesaikan masalah kemarin dengan lancar? apakah ada orang yang membantunya disana? Apakah ada orang yang bersedia meminjamkan pundaknya disaat dia lelah?.

Pertanyaan-pertanyaan itu kian muncul berdesakan didalam kepala Hanna. Matanya mulai memanas dikala ia mengingat akan suatu hal yang mengganjal dihatinya, Penyesalan.

Ya, Hanna sangat, sangat, sangat menyesal. Ia menyesal karena telah membiarkan suaminya itu menanggung beban seorang diri. Jika dibandingkan dengan apapun, maka penyesalan Hanna ini tidak akan bisa dibandingkan.

Oh, betapa durhakanya ia menjadi seorang istri. Wanita yang seharusnya menjadi penopang disaat seorang pria yang merupakan suaminya itu akan terjatuh, ia justru meninggalkannya sendirian, menyerahkan semua beban rumah tangga mereka dengam dalih kekecewaan. Tak terbayang seberapa menyakitkannya laknat yang sedang menunggunya diakhirat kelak.

Allah.

Ampunilah wanita cacat ini.

Hanna terisak diatas sajadahnya. Rukuh putih yang ia kenakan telah basah oleh air mata penyesalan yang tak terhingga. Isakan kecil dari bibirnya dibarengi dengan ucapan kata maaf yang mungkin terlambat untuk disampaikan.

Dengan perlahan, wanita satu anak tersebut bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju samping ranjang. Ia lantas mengambil ponsel yang tergeletak diatas nakas. Mencari nama suami dari daftar kontaknya lalu menekan ikon telepon saat nama itu ditemukan.

Satu kali.

Panggilan itu tidak dijawab. Hanna tidak menyerah dan kembali mencoba menghubungi suaminya.

Dua kali.

Masih tidak ada jawaban. Hanna berfikir mungkin Davin sedang ada urusan hingga tak sempat mengangkat panggilannya. Beberapa saat berlalu. Hanna masih tidak mau menyerah. Ia kembali melakukan panggilam di nomor yang sama.

Tiga kali.

Hanna mulai khawatir. Ia berjalan mondar mandir dengan tidak tenang. Tiba-tiba perasaannya menjadi tidak enak. Ada apa ini?.

" Angkat mas ". Hanna bergumam pelan sambil menempelkan ponsel ditelinganya.

Tut. Tut. Tut.

Kini justru nomor suaminya itu tidak aktif. Hanna semakin dibuat khawatir. Takut terjadi sesuatu pada suaminya.

Sambil mencoba bersikap tenang, ia berinisiatif untuk menghubungi mertuanya, berharap mendapat informasi mengenai keadaan suaminya. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Kedua nomor mertuanya tidak berada dalam jangkauan.

Hanna kemudian menghubungi nomor Arish. Dan syukurnya pemuda itu mengangkat panggilannya. Setelah menjawab salam dari Hanna, Arish langsung mengajukan pertanyaan

" Ada apa kak? ".

" Em, Arish, kamu sekarang di rumah enggak? ". Suara Hanna bergetar. Ia merasa cemas.

" Duh maaf kak, aku lagi diluar sama temen. Mungkin pulang besok karena aku lagi dipuncak. Kenapa ya kak? Apa ada masalah? ".

" Ah enggak, kakak cuma mau tanya soal mas Davin aja. Soalnya tadi kakak telpon gak diangkat terus. Mama sama Papa juga sama. Kakak khawatir ".

" Oh gitu ya. Mama Papa sih lagi keluar kayaknya. Katanya sih ada acara, tapi gak bilang ada acara apa. Mungkin mereka gak aktifin Hp. Kalo kak Davin, aku kurang tau ". Suara-suara teman Arish terdengar bising dan sedikit keras. Hanna memaklumi hal itu. Tapi Hatinya menjadi semakin tidak tenang.

Perfect Parents: Hanna's Family ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang