Bab 11

24 23 40
                                    

Waktu terus berjalan, sudah terhitung lima belas jam Ayres masih sentiasa menutup mata, selama itu juga Aya terus terjaga di samping Ayres, yang ada dipikirannya hanya rasa khawatir takut jika saat Ayres bangun dan ada yang Ayres butuhkan.

Aya menguap, berulang kali ia menguap tetapi masih berusaha menahan kantuk.

"Eughh"

Lenguhan dari Ayres, mata yang mengerjab beberapa kali membuat Aya panik dan menekan tombol di atas brankar Ayres. Tak lama seorang dokter datang dan memberikan keadaan Ayres.

"Kondisi nya sudah mulai membaik, walaupun harus menjalani beberapa pengobatan lagi."

Aya bernafas lega, setidaknya kondisi Ayres tak seburuk yang ia pikirkan.

Setelah dokter permisi, hanya ada keheningan yang menghiasi ruang rawat Ayres. Aya yang sentiasa menunduk diam, dan Ayres yang menatap keluar jendela.

Merasa jenuh dengan suasana hening, menurunkan ego Aya membuka suara.

"Maaf..."

"Untuk apa?" tanya Ayres.

"Tadi itu salah paham, Fahmi cuman anak salah atau warga disitu, kita emang udah dekat dari dulu," jelas Aya.

Ayres menghembuskan nafas gusar. "Gak usah di jelasin, kita kan gak ada hubungan apa-apa," ucapnya sembari tersenyum tipis.

Sakit. Hati Aya sakit mendengar penuturan Ayres, tanpa sadar aliran sungai bening meluncur melewati pipi Aya.

"Maaf, semua kata-kata gue cuman emosi semata," cicit Aya.

Ayres hanya diam.

"Pulang aja sana, gue tau Lo capek," titah Ayres.

Aya tak bergeming, air mata masih mengalir di pipinya, sesekali mengusap ingus yang ikut turun.

"Jorok," ejek Ayres.

Sebenarnya Ayres tak marah, hanya saja sedikit kesal karena Aya lebih mementingkan Fahmi dari pada dirinya, Ayres tak ingin memperpanjang masalah dan memilih berdamai.

"Ga mau peluk?" tawar Ayres.

Aya mendongak, menatap Ayres berbinar lalu berlari kearah Ayres. "Jangan marah lagi! Huaa... Aya takut.." tangis Aya.

Ayres terkekeh sembari mengusap pelan Sirait hitam milik Aya, ia berharap kebahagian antara ia dan Aya akan terus berjalan seperti ini.

Tapi mungkin itu tidak akan mungkin, setiap hubungan pasti ada naik dan turunnya.

"Tidur aja, Aku tau kamu capek," ucap Ayres.

Tak butuh waktu lama, terdengar dengkuran halus dari Aya, Ayres tersenyum ia sangat menyayangi perempuan yang berada di pelukannya saat ini.

Mengecup kening Aya, lalu bergumam. "Love u more baby."

****

Di pagi hari, bukannya kicauan burung yang membangun kan Aya, atau bahkan sinar matahari, melainkan pekikan dari Mama nya dan Mama Ayres.

"Kalian tidur satu kasur?"

"Mama curiga sama kamu Res."

"Nikah aja nikah," usul Papa Aya.

Aya tersenyum malu, ingin sekali pulang dan bersembunyi di bawah selimut kesayangannya, intinya ia malu.

Berbeda dengan Ayres yang merasa biasa saja, dan sedikit setuju dengan saran yang dikemukakan oleh Papa Aya.

"Emang boleh Ayres nikahin Aya?" tanyanya.

"Kalo emang serius kenapa enggak?" tanya Papa Aya balik.

Ayres tersenyum sumringah, seakan sudah diberi lampu hijau oleh Papa mertua.

"Sepertinya bakalan ada pengantin baru nih," goda Mama Ayres.

Menyebalkan, itu yang Saya rasakan saat ini.

"Udah jangan di sudut terus Aya, sekarang kamu mandi dulu ini Mama bawain baju ganti."

Aya menerima baju tersebut lalu beranjak menuju kamar mandi.

Lima belas menit berlalu, Aya selesai dengan rutinitas nya, keluar menuju ruangan Ayres dan sudah tak menemukan siapa-siapa disana selain Ayres.

"Mama papa kemana?"

"Mereka pergi makan keluar, katanya mau bahas tunangan."

"Ooh.."

Tunggu sebentar? Apa Aya tidak salah dengar, tunangan? Tunangan dengan siapa? Aya bingung sendiri.

Seakan paham dengan raut wajah Aya yang kebingungan Ayres angkat bicara. "Kita bakalan tunangan sayang."

Jantung Aya berdegup dengan cepat, antara senang atau malah ke sedih?
Sedih karena ia tak di lamar secara langsung oleh Ayres.

"Gak usah ngelamar-lamar, yang penting itu kita jadi nikah."

Aya kesal, kenapa calon suami nya ini tidak bisa diajak romantis. Ayolah, Aya juga punya impian.

"Aku emang gak ngelamar kamu, aku jarang ungkapin perasaan, tapi yakin kalo rasa aku ke kamu gak bakalan pernah berubah."

"Aku tau ini mendadak buat kamu, tapi aku rasa mencintai setelah menikah itu lebih baik?"

"I love you babe, and will you marry me?"

Menjadi patung, Aya bergerak kaku, tak tau apa yang harus ia jawab.

Apa ia harus membalas kata-kata romantis dari Ayres? Atau langsung mengatakan 'yes i will?'
Ya ampun Aya sangat bingung ingin menjawab apa.

Aya masih sentiasa berpikir, ia masih belum terlalu yakin dengan perasaan nya ini.

"Ayres, Aku belum terlalu yakin sama perasaan aku, mau menganggap kamu sebagai teman masa kecil atau teman dalam bahtera rumah tangga."

"Aku ngerti, makanya aku ngajak kami nikah dan buat semuanya jadi indah."

"Caranya?"

"Kamu belajar mencintai aku, dan aku belajar membahagiakan kamu."






















TBC...
Vote, komen, jangan lupa!

Kamu pasti tau cara menghargai karya seorang amatiran.

Instagram: ln.azmi

Flowers in Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang