Part 17.1 - Realita

5 1 0
                                    

Ravin merapihkan barang-barang yang sebelumnya digunakan untuk menjilid makalah. Dia kembali duduk ke tempat nya semula setelah tidak ada lagi pelanggan yang datang. Malam hari cukup ramai seperti biasanya, terutama menjelang pukul 9 malam. Ravin menyalakan ponselnya, mengecek pesan masuk yang sejak pulang sekolah ia abaikan. Ia tidak membalas semua pesan tersebut, hanya membuka pesan yang dianggapnya penting saja. Jarinya berhenti menscroll layar ponsel saat melihat pesan masuk dari Rafa.

From : Rafa
Vin mau ikut jenguk ibu ga?

Ravin lupa, sebelumnya ia berniat untuk mengunjungi ibu. Yah, meskipun tidak bersama Rafa (karena ia tahu hubungan nya dengan Rafa tidak akan pernah berjalan baik), tetapi Ravin tetap ingin bertemu ibunya. Ravin termenung, merasa menyesal tidak ikut menengok ibu. Harusnya dia ingat bahwa ibu sudah dua hari tidak kembali dari rumah sakit, dan dengan bodohnya sore tadi dia langsung pergi menuju fotokopian alih-alih ke rumah sakit. Padahal sejak pagi ia sudah berniat untuk bertemu ibu setelah mengetahui bahwa waktu rawat ibu diperpanjang.

Ravin mengacak rambut frustasi, sekarang dia sudah resmi menjadi anak durhaka. Dia melirik jam di dinding, sudah pukul sembilan malam, apakah masih mungkin jika ia menjenguk ibu sekarang? Tapi bagaimana jika ibu sedang istirahat. Lagipula apakah masih diperbolehkan untuk menjenguk di malam hari seperti ini? Ia tidak tahu, yang Ravin tahu adalah bahwa ia tidak mungkin menjenguk ibu di esok hari karena ia lebih menginginkan ibu sudah bisa kembali ke rumah dibandingkan ibu masih harus berada di rumah sakit.

Ravin mematikan ponselnya, pilihan nya jatuh pada keputusan untuk tidak menjenguk ibu dan mendoakan kesembuhannya dari sini. Semoga tuhan masih berbaik hati untuk mengabulkan doa pendosa seperti dirinya.

"Vin ada yang beli"
Ravin menoleh ke arah panggilan Bang Edgar yang sedang berada di depan komputer, kemudian menyadari bahwa sudah ada pelanggan. Dia bangkit dari duduknya dan menghampiri pelanggan tersebut, yang sedang sibuk melihat-lihat barang melalui lemari kaca.

"Cari apa kak?"

"Mau beli tip ex, pulpen yg ini, isi pulpen satu, sama map plastik warna hijau"
Ravin mengambil semua barang-barang yg disebutkan oleh cewek tersebut. Dia menuju ke rak besar di paling belakang untuk mengambil map plastik. Entah mengapa dia merasa sedikit familiar dengan suara cewek itu. Bukan karna dia hafal suara semua pelanggan nya. Melainkan ia merasa sering mendengar suara tersebut di masa lalu.

"Ada lagi?"
Cewek itu tidak menjawab dan masih melihat-lihat barang pada lemari kaca.

"Udah, jadi berapa?"
Cewek itu mengangkat pandangan nya dari lemari kaca kemudian menatap Ravin. Tepat saat itu Ravin menyadari bahwa dia mengenali cewek tersebut.

"Loh Ravin?"

"Divya?"

Mereka saling bertatapan dengan heran, tidak menyangka akan bertemu disini. Pertemuan tidak menyenangkan di akhir hubungan mereka ternyata tidak benar-benar berakhir. Ravin mengerjap beberapa kali, mencoba mengelak bahwa dihadapannya adalah seseorang yg pernah disayanginya. Tapi Divya memang nyata berada di depannya sekarang. Perasaan bersalah sedikit menghinggapi hati Ravin teringat perpisahan mereka yang tidak baik-baik saja.

"Lo apa kabar vin?"
Tanya Divya dengan senyum manisnya yg sempat sirna beberapa saat.

"Baik div, lo sendiri gimana kabarnya?"

"Baik juga, gua ga nyangka bakal ketemu lo disini"

"Sama, gua juga"
Divya tertunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya, tidak tahu apa yang harus dibicarakan kembali. Hanya ada keheningan diantara mereka sampai divya teringat bahwa dia belum membayar.

"Oh iya jadi berapa semuanya?"

"Sebentar"
Ravin menghitung semua barang yg ada, sementara Divya menunggu dengan berusaha sekuat mungkin untuk tidak menatap Ravin.

Angel or DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang