Salah satu ingatan yang muncul menjadikan Dava bingung sekaligus takut secara bersamaan, ingatan buruk itu seolah selalu mengikuti dirinya.
Selepas sadar dari pingsannya anak itu menangis, Rendi dan Mita khawatir melihat nya. Untuk mengalihkan perhatiannya, Rendi mencoba untuk membujuk dengan banyak hal. Namun sepertinya Dava tidak tertarik akan bujukan Rendi kali ini.
"Coba bilang sama kakak, adek kenapa nangis hmm." Dengan lembut Rendi mencoba untuk menanyai Dava.
"Hiks... Nggak tau." Suaranya bergetar, menyembunyikan wajahnya di pelukan Mita yang dengan sabarnya memeluk dirinya.
"Kalo nggak tau kenapa nangis, ada yang sakit? Perutnya sakit ya." Tangan Rendi segera mengelus perut Dava, takut anak itu memang kesakitan namun tidak berani mengatakan.
"Nggak tau hiks... Dava nggak tau..." Katanya sambil menggelengkan kepalanya, hidungnya sudah memerah karena menangis.
"Bun, terus ini gimana. Nggak tega liat dia nangis terus kayak gini." Keluh Rendi, bukannya kesal akan Dava yang menangis. Namun dirinya jelas khawatir dan takut anak itu sakit.
"Udah kamu siap-siap aja, kamu ada urusan sekolah kan. Biar bunda aja yang jagain Dava disini, nanti pasti Dava berhenti kok nangis nya." Ujarnya, masih dengan tangan yang mengelus punggung anak remaja yang dipelukannya.
"Tapi Bun, kalo Dava nanti nyariin aku gimana."
"Nggak, dia pasti ngerti kok. Kamu pergi aja, kalo nggak nanti kamu nya yang dimarah sama ayah." Akhirnya Rendi mengangguk, setidaknya dirinya tidak perlu khawatir saat Dava ditinggal olehnya.
"Ya udah, Rendi pergi Bun. Kalo Dava kenapa-napa langsung hubungin Rendi ya." Rendi melenggang pergi setelahnya.
Mita masih menemani Dava yang masih menangis, sampai akhirnya tangisan itu berhenti Mita tetap sabar menunggu anak itu tenang. Terdengar suara kesegukan dari anak itu, Mita terkekeh kecil.
"Bunda, kata ayah aku bodoh hiks... Kata ayah Dani malu-maluin keluarga hiks.. Dani harus gimana Bun." Suaranya bergetar menyayat hati Mita yang memeluk anaknya dengan erat, membubuhi kecupan di kepala anak itu secara beruntun.
"Dani nggak bodoh, ayah bilang kayak gitu pasti masih capek abis kerja. Nggak papa, ada bunda disini." Bisa Mita rasakan Dani menggelengkan kepalanya pelan.
"Tapi bunda, ayah bilang kayak gitu tiap hari ke Dani. Kalo sama kak Rendi nggak pernah. Temen Dani juga bilang gitu sama Dani." Mita ikut menangis saat anaknya berbicara menyakitkan seperti itu, sebagai ibu Mita tahu apa yang dirasakan anaknya.
Mita memejamkan matanya saat memori itu datang lagi, dirinya jadi rindu dengan bungsunya yang sudah pulang. Dirinya semakin memeluk erat Dava, takut jika dilepas Dava akan ikut pergi menggagalkan nya.
"Udah ya jangan nangis terus, nanti air matanya abis loh kalo Dava nangis terus." Mita menghapus jejak air mata di pipi Dava dengan lembut, kulit putih bersih itu tampak basah karena menangis.
"Dava takut bunda." Cicit anak itu, sesekali tubuhnya tersentak karena segukannya. Tidak lama kemudian Dava mendongakkan kepalanya untuk melihat Mita, tanpa disangka tangan lembut itu bergantian menghapus air mata yang menggenang di wajah wanita yang memeluknya.
"Bunda jangan ikutan nangis kayak Dava hiks." Isakan meluncur lagi dari bibir tipisnya, Dava merasa jika Mita menangis karenanya. Dava ingat saat kejadian di rumah sakit waktu lalu, saat dirinya sudah dibujuk untuk makan.
"Makanya Dava jangan nangis terus, bunda ikut sedih kalo Dava nangis terus." Air mata yang keluar saat ini bukanlah Mita yang berpura-pura menangis untuk memenangkan Dava, namun itu murni karena dirinya yang tengah rindu pada Dani dan semakin tidak bisa menahan untuk mengeluarkan air matanya saat Dava berada di pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
New World (END)✓Terbit
FanfictionDi sanalah dirinya hidup, di tengah hutan tanpa seorang yang menemaninya. Mungkin sangat mustahil, namun apa sih yang tidak bisa terjadi di dunia ini?. Dirinya yang suka menatap bintang pada gelapnya malam hari yang bahkan tidak mengetahui nama dan...