"Kita nggak bakalan bisa nemuin Dava kalo kiga cuma gini-gini aja." Gerutu Rendi dan menginjak botol kaleng yang sudah kosong.
"Ya terus mau gimana. Lo juga nggak tau Dava dimana." Ujar Angga menanggapi Rendi. Sedari tadi mereka bingung akan kemana sebab tidak mengetahui lokasi yang pasti Dava berada.
"Gimana kalo kita minta bantuan paman Lo aja yang polisi itu Ren." Kali ini Chandra berpendapat, tumben sekali otak anak itu bisa di andalkan saat seperti ini.
"Nah gue setuju tuh. Tumben pinter Lo Chand." Angga memukul cukup keras kepala Chandra, yang membuat si empu menggerutu.
"Ide yang bagus, tapi gue takut kalo masalah ini jadi tambah panjang." Ragu Rendi, ia memikirkan adanya masalah lain yang akan datang.
"Tapi Ren, nggak ada jalan lain selain ini. Kalo Lo nggak berani minta bantuan ayah Lo, jadi seenggaknya paman Lo itu bisa jaga rahasia. Lo tenang aja, kita pasti selalu bantuin Lo kok." Ah, Rendi menjadi terharu mendengar nya. Teman-teman ini selalu saja bisa ia andalkan.
"Oke, gue telepon semoga aja nggak sibuk." Rendi segera mengeluarkan ponselnya dan mulai menghubungi Dika. Tak butuh waktu lama, sambungan telepon itu pun tersambung.
"Paman, Rendi butuh bantuan." Dan setelah nya Rendi mengatakan perihal ia menelpon. Setelah mendapat persetujuan dari Dika, Rendi tersenyum lega ke arah teman-teman nya.
"Paman gue setuju." Ucapan itu mampu membuat mereka ikut tersenyum lega.
.Fiki menelan savilanya kasar, matanya bergerak liar ke kanan dan kiri. Penampilan nya begitu kacau, tangannya yang penuh darah itu ia gosok-gosokkan ke hoodienya berharap noda itu hilang, pikirannya pun tidak kalah kacau namun setidaknya ia lega karena sudah membalaskan dendam nya.
"Kalo bisa gue pingin yang lebih dari ini." Gumamnya, seakan melupakan dirinya yang tadi ketakutan dan kacau.
Dirinya lalu masuk ke dalam sebuah apartemen yang memang sudah ia siapkan untuk tempat persembunyiannya. Sampai didalam, Fiki menghembuskan napas leganya, ia beralih ke wastafel untuk mencuci tangannya hingga bersih.
Setelahnya Fiki langsung melepaskan hoodie hitamnya yang menyisakan baju lengan pendek berwarna senada dan membuang Hoodie itu ke dalam kotak sampah, tak lupa dengan membakarnya berharap menghilangkan jejak. Fiki juga mengambil kartu seluler yang ia gunakan dan membuangnya kedalam kotak sampah aluminium itu.
Lalu bagaimana keadaan Dava saat ini? Anak itu sudah terlihat sangat pucat, tangannya tidak pindah dari ia yang memegangi perutnya sejak tadi.
"Argh! Sak..kit."
Rintihan sakit pun turut keluar dari bibir pucatnya. Napasnya pun sudah memberat, sesekali Dava mengerutkan keningnya menahan sakit.
"Kakak." Lirihnya, berharap Rendi cepat datang untuk menolongnya. Dava tidak takut ditempat gelap maupun sepi seperti ini, itu sudah biasa ia lalui dulu. Yang ia takuti jika dirinya mati disini sebelum pamitan pada kakaknya, ia juga belum membalas semua perbuatan baik yang Rendi lakukan padanya.
Tubuh lemahnya berusaha untuk berdiri untuk keluar dari sana, yang terjadi adalah tubuh itu limbung menghantam lantai berdebu itu.
"Arghh!!." Ia menggeram kesal karena tubuhnya terlalu lemah untuk sekedar berdiri. Sekali lagi ia mencoba untuk berdiri.
Kemudian ia tumpukan kembali tubuh nya di dinding, menahan sakit diperutnya dan berjalan dengan sangat tertatih. Darah diperutnya tidak mau berhenti dan terus mengalir hingga jatuh di lantai.
Dava harus memejamkan matanya saat ia harus melewati tangga untuk keluar dari sana, hingga dirinya sudah tidak tahan menghadapi sakit ditubuhnya, juga pening yang mendera hingga ia terjatuh dan terguling hingga tangga paling bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
New World (END)✓Terbit
FanfictionDi sanalah dirinya hidup, di tengah hutan tanpa seorang yang menemaninya. Mungkin sangat mustahil, namun apa sih yang tidak bisa terjadi di dunia ini?. Dirinya yang suka menatap bintang pada gelapnya malam hari yang bahkan tidak mengetahui nama dan...