4: dessert box

90 16 9
                                    

Aya rasa, pesta dan segala jenis keramaian bukanlah tempat yang cocok untuk dirinya. Sebab seringkali Aya merasa asing sendiri, atau mungkin Aya yang terlalu menutup diri. Entah, yang pasti rasa sepi dalam keramaian lebih menyesakkan daripada kesendirian. Cici dan Caca pergi menghampiri temannya yang lain, Mona sudah menggila di lantai dansa, Echa bersama pacarnya. Kepergian mereka menyisakan Aya yang duduk sendiri.

"Aya!"

Aya menoleh hanya untuk bertatapan dengan mata tajam milik Edward yang menatap begitu intens. Mendadak jantung Aya bergemuruh. Dari jarak yang kurang dari dua puluh senti, Aya dapat mencium aroma parfum yang Edward kenakan. Bohong kalau Aya bilang tidak jatuh pada pesona Edward malam ini. Dia jauh lebih keren dari yang pernah Aya lihat sebelumnya. Pakaian serba hitam yang Edward kenakan mulai dari kaos sampai jaket kulit sebagai luaran makin memperkuat aura bangsat dalam diri Edward. Jangan lupa kalung rantai yang menggantung di leher Edward, aura bangsatnya tumpah-tumpah.

"Apa kabar?" Edward sedikit berteriak.

"Baik."

Dikarenakan bisingnya suara musik, agak sulit bicara dengan nada suara normal. Maka Edward menggeser tubuhnya mendekat ke Aya, Aya malah menggeser tubuhnya hingga ke ujung sofa.

"Kalo jauh-jauh lo gak bakal denger!" Edward berseru jengkel. "Apa gue kudu teriak-teriak kayak gini?!"

"...."

"Ah! Ribet!"

Edward pun bangkit dari duduknya sambil meraih pergelangan tangan Aya, kemudian menariknya berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. Di lantai dua tidak seramai lantai satu, pun dengan suara musik yang hanya terdengar sayup-sayup. Kebanyakan yang berdiam disini adalah pasangan yang mungkin butuh privasi atau ingin leluasa dalam berkomunikasi tanpa terganggu bising.

"Elo kenapa?" Edward kontan bertanya begitu mereka duduk.

"Gak apa-apa."

"Gak usah bohong! Kalo gak ada apa-apa, kenapa gak bales chat gue?"

"Gak punya kuota."

"Kalo diajak ngomong tuh liat orangnya! Bukan liat ke bawah."

Aya mendongak.

"Kalo gak punya kuota tuh cheklist satu. Chat gue checklist dua abu-abu. Gue tau, lo pasti matiin last seen sama checklist biru kan?"

"...."

"Ada apa? Gue ada salah sama lo? Lo marah sama gue?"

"Enggak."

"Terus apa? Oh! Yang ketemu di ruangan Mas Bima itu. Gue gak bermaksud menghakimi elo. Tapi kalo boleh jujur, gue kaget. Tapi fine-fine aja kok. Gue tetep mau jadi pacar lo."

"Maaf."

"Gak usah minta maaf. Lo nggak salah apa-apa. Sorry, kalo sikap gue waktu itu bikin lo merasa nggak enak."

"Iya, Kak."

Selang beberapa detik, Edward tidak berkata apa-apa. Kini dia santai saja memantikkan api pada rokok yang terselip di bibirnya.

HAJARENDRA  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang