15: Noted

52 10 0
                                    

"Ngapain kudu sama laki gue?" Aya memprotes Yusuf di telepon.

"Terus gue telponan sama istri orang tanpa sepengetahuan lakinya? Laki lo di rumah kan? Buruan bilang."

"Iya... Tunggu sebentar."

Aya mendengus kemudian beranjak dari kasur untuk menghampiri Edward di kamarnya. Sepertinya Yusuf mau bicara hal yang penting sampai menghubungi Aya malam-malam begini, terus minta panggilannya di loudspeaker, udah gitu harus sama Edward.

"A Edward!" Aya memanggil seraya mengetuk pintu.

"Masuk!"

Atas perintah tersebut, Aya membuka kenop pintu, di dalam Edward sedang bersandar di ranjang sambil membaca buku. Aya pun langsung mendekat ke arahnya.

"A, ini Yusuf telepon."

Edward mengernyit, "Ngapain dia telepon kamu malem-malem?"

"Gak tau."

"Halo, Bang." Yusuf menyapa dari sana.

Aya menyodorkan ponsel ke hadapan Edward, lelaki itu pun menyahut, "Iya, ada perlu apa nih? Telepon bini gue malem-malem?"

"Urgent, Bang. Mau curhat. Sorry, kalo ganggu. Eh, tapi kalian lagi gak ada kepentingan kan? Penganten baru biasanya lagi semangat-semangatnya."

Edward terkekeh. "Enggak. Malem ini libur dulu. Silahkan. Tapi lain kali, kalo ada keperluan sama Aya, kalo bisa lewat gue dulu."

"Iya, Bang. Noted. Tuh kan, Ay! Untung gue nyuruh lo laporan ama laki lo. Kalo enggak, kayaknya laki lo ngamuk, sih."

Yang pertama bereaksi atas ucapan Yusuf adalah Edward. Kedua matanya menatap dingin pada Aya. Sampai-sampai Aya salah tingkah dan langsung beralih pada Yusuf di telepon.

"Iya-iya... Mau ngomong apa emang?"

"Soal Cici. Gue rasa elo yang paling tepat, soalnya lo deket ama dia, tapi lo yang paling netral buat gue ngomongin ini. Sumpah, Ay. Gue kaget banget, Cici ternyata suka ama gue."

Aya melotot kaget. "Lo tau dari mana?!"

"Si Darren."

Aya berbalik hendak melangkah keluar, tiba-tiba saja Edward mencekal pergelangan tangannya. Tatapan tajam lelaki itu mengisyaratkan Aya agar duduk di kasur. Mau tak mau Aya menurut, ada sinyal di mata Edward yang menyiratkan jika dibantah sedikit saja, Edward bisa marah.

"Selama ini Cici kasih perhatian lebih ke elo, Jiun, Jehiyan, Yosi, Si Justin yang masih bocil aja peka kalo Cici ada rasa sama lo. Lo gak peka?"

"Enggak, Cici kan emang baik dan perhatian sama banyak orang."

"Parahhh... Lo lebih gak peka dari---" Aya refleks melirik Edward yang juga menatapnya.

"Dari siapa?"

"Dari yang gue duga."

"Ohh... Kirain dari siapa."

Aya tersenyum sembari menghela napas. Bahaya kalau tadi bilang 'lo lebih gak peka dari suami gue', walau sebenarnya Aya mau bilang itu.

"Yang paling penting, lo suka nggak sama Cici?"

"Gak tau, kayaknya dia tulus suka sama gue."

"Emang. Menurut lo Cici orang nya gimana?"

"Dia baik, perhatian, orang nya asik, mandiri, cakep."

"Julidnya kenapa gak lo sebutin?! Padahal julid itu yang utama." Aya protes.

HAJARENDRA  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang