22 : Gugur

50 8 0
                                    

Detik-detik terakhir yang Aya ingat sebelum hilang kesadaran adalah kakinya tergelincir di tangga butik hingga menyebabkan dirinya terjatuh yang semakin memperparah rasa nyeri di perutnya. Sungguh, hanya rasa sakit itu yang paling ia ingat sampai kesadarannya kembali.

"Ay..." Sapa Edward. Lelaki itu mengusap keningnya sambil terus menggenggam erat pergelangan tangan sang istri.

Aya mengulas senyum. Tak ada yang bicara setelahnya. Edward terlalu bingung bagaimana menjelaskan semuanya hingga tiba-tiba Aya meringis pelan.

"Kenapa, Ay?" Tanyanya khawatir.

"Sakit." Ucapnya lirih.

"Nanti minum obat, ya? Sekarang makan dulu."

"Perut aku kenapa? Kok bisa sakit banget?"

Edward membisu.

"A..."

"Maaf, Ay."

"..."

"Kamu keguguran."

"Keguguran?" Edward mengangguk.

"Aku hamil?" Tanyanya yang lagi-lagi dijawab anggukan.

Kenyataan yang sangat sulit Aya terima. Sulit, sangat sulit. Bagaimana mungkin ia tidak pernah tahu bahwa dirinya hamil, kini ia dengar janin itu telah gugur. Tangis Aya pun luruh di pelukan Edward.

"Ay, aku minta maaf, ya? Harusnya aku lebih perhatiin kamu."

Aya menggeleng pelan. Sambil tersedu, ia berusaha menjawab, "Aku minta maaf, nggak bisa jaga anak kamu."

Dada Edward semakin sesak.

🍀



Yang paling berat bagi Edward ialah melihat Aya berpura-pura tenang, padahal sorot matanya berkata lain, Aya tidak baik-baik saja. Dua hari berlalu dan kondisinya mulai membaik, belum ada yang dia ungkapkan, entah bagaimana dia memendam semuanya sendirian, Edward hanya melihat kepedihan itu melalui sikapnya yang kerap melamun dengan tatapan kosong, lalu menangis di malam hari saat tak ada lagi di dalam ruangan selain Edward yang setia menjaganya.

Seharusnya keadaan ini menjadi momen yang pas untuk bicara, kebetulan orang tua Edward sedang ada urusan dan orang tua Aya baru saja keluar, tersisa mereka berdua yang sedang makan siang, tidak, hanya Aya yang makan, sementara Edward menyuapi istrinya dengan telaten. Namun Edward tidak tega setelah nampak kembali senyum Aya sejak pagi. Mungkin perasaannya sedikit membaik, dan Edward tidak mau memperburuk lagi dengan membahas duka yang ia alami.

"Lagi, Ay." Bujuk Edward seraya menahan sendok berisi nasi dan lauk di depan mulut Aya yang tertutup, kemudian perempuan itu menggeleng.

"Sayang loh, Ay... Sisa dikit lagi."

"Kenyang."

Edward tersenyum pasrah sambil meletakkan piring di atas nakas.

"Oh iya, Ay. Besok kita pulangnya ke rumah Mama ya?"

"Kenapa gitu?"

"Kamu kan mesti bed rest. Kalo nanti aku kerja terus kamu di rumah kita sendirian gimana? Di rumah Mama kan ada Bu Romlah, Mama juga bisa jagain kamu."

"Ngerepotin gak sih?"

"Gak ada yang ngerepotin. Ini Mama sendiri yang minta, Ay!"

"Yaudah. Iya."

Edward tersenyum lega. Lantas keduanya mendengar bunyi ketukan pintu dari luar. Lelaki itu bergegas membuka pintu hingga muncullah sosok yang tidak diduga.

HAJARENDRA  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang