23 : Hikmah

40 8 20
                                    


"Aku belum siap punya anak."

Edward terkejut.

"Waktu aku sadar udah telat sampe dua minggu, dari situ aku sempet mikir mungkin aku hamil. Tapi terus denial dan meyakinkan diri buat gak berpikir terlalu jauh. Di sisi lain aku takut, makanya aku nggak ngecek sama sekali. Makin hari aku ngerasa badan aku kayak ada yang aneh, gampang capek, gampang ngantuk, mungkin itu sinyal kalo ada yang hadir di badan aku, tapi lagi-lagi aku denial. Aku minta maaf."

Edward merengkuh Aya dalam dekapan, "It's okay... Gak apa-apa. Aku juga minta maaf karena gak bahas hal sepenting ini sama kamu."

"Makanya Allah ambil titipan ini, akunya aja nggak mau. Tapi hidup bukan cuma tentang aku kan? Ada orang tua aku yang pasti bahagia dengan cucu pertamanya, ada mertua aku yang gak kalah bahagianya, ada suami aku yang--- kamu pasti bahagia seandainya aku nggak egois dan ngebiarin kandunganku sampe gugur."

Aya terisak lagi.

"Kasian ya calon bayi kita? Ibunya menolak dia sejak awal, makanya dia nggak mau bertahan sampe lahir. Padahal selain Ibu yang kayak gini... Ada laki-laki yang layak banget jadi Ayahnya, yang bahkan ketika denger kabar kehadirannya dia akan menyambut dengan bahagia. Iya kan? Kamu happy kan kalo kita punya anak?"

Edward tidak bisa menjawab.

"Aku minta maaf banget ya?"

"Iya..." Jawabnya sembari mengusap sia air mata yang membasahi wajah Aya. "Udah ya... Jangan merasa bersalah sendiri... Aku mah dibilang gak mau punya anak juga enggak, dibilang mau juga kayaknya nggak dalam waktu deket ini. Tapi seandainya kita dikasih, aku happy kok. Tapi kalo belum rezeki, artinya kita belum siap."

"Punya anak tuh gak gampang, A...."

"Iya... Aku ngerti."

"Terus sekarang gimana?"

"Sekarang ikhlas dulu. Yang udah terjadi kemaren udah... Ikhlasin aja. Udah takdirnya begitu. Ini ujian rumah tangga kita. Yakin, setiap masalah pasti ada hikmahnya."

Aya mengangguk seraya tersenyum.

"Makasih Edward... I love you..." Ucapnya tanpa sadar.

"I love you more."

"Hmm?"Aya terperangah. "Kamu bercanda kan?"

Edward terkekeh. "Bercanda apa Ayang?"

"Yang tadi--- cuma kalimat penenang buat aku kan?"

"I love you, more. Apa muka aku keliatan bercanda? Keliatan gak aku bohong?"

"...."

"I love you. So much. Kenapa aku harus bohong?"

Aya menggeleng. "Sulit dipercaya. Kirain cinta aku cuma sepihak."

"Perempuan kayak kamu nggak layak dapet cinta sepihak. Kamu layak dicintai, kamu tuh loveable, cantik, baik, pintar, sabar, tenang, peduli, but I love you because you are Cahaya Nirmala. Apa alasan aku nggak jatuh cinta sama kamu? Gak ada. Makanya aku tadi kaget waktu kamu bilang belum siap punya anak."

"Kenapa?"

"Kaget aja. Kamu punya motherly instinc yang dipikiran aku tuh--- perempuan ini perfect kalo jadi ibu. Siapa sih anak yang gak mau punya ibu kayak kamu? Udah cantik, pintar masak, kalem, lemah lembut, sabar, mengayomi. Apa lagi ya? Banyak."

"Punya anak butuh kesiapan yang matang, A. Apalagi seorang Ibu. Anak nggak cuma waktu bayi yang lagi lucu-lucunya, tapi nanti anak jadi gede, remaja, bahkan dewasa. Nah itu gimana kita merawat dan mendidik anak dengan baik. Terus kalo seandainya nanti anak kita cengeng, nakal, susah dibilangin, keras kepala, suka ngelakuin sesuatu yang bikin kita kesel, atau berlawanan dengan yang kita harapkan. Apa kita harus marah?"

HAJARENDRA  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang