17: Norak!

66 16 6
                                    


Yang namanya Edward, makin dilarang makin merasa tertantang. Meski Aya sudah berkata cukup dan tidak perlu diberi kado, Edward yang awalnya mengiyakan bersikeras diam-diam. Edward sendiri bingung kenapa mau pusing-pusing memikirkan kado buat Aya. Awalnya minta tolong Yorikho, tapi anaknya sibuk sekolah. Mau minta tolong Mama, orang tuanya lagi diluar kota. Akhirnya Edward meminta tolong pada Lani dengan mengajaknya ke pusat perbelanjaan.

"Ini aja, nih! Cocok buat bini lo yang kalem."

Edward berdecak, "Ada belahan di pahanya. Aya gak biasa pake begituan."

"Dibiasain, dong!"

"Gak bisa!" Edward memandang sinis pada Lani, kemudian beralih pada floral dress warna pastel di hadapannya. "Kalo Aya gak nyaman ntar gak dipake. Lagian itu bagian dadanya kerendahan, udah belahan pahanya tinggi banget."

"Itu sih elu yang gak mau!" Protes Lani.

"Ya emang gak mau!"

"Posesif banget, Anjir!"

"Bukan posesif! Aya mau pake baju apa aja gak gue larang! Asal dia nyaman."

"Alesan lo basi!"

"Terus kalo gue nggak mau paha sama dada bini gue keumbar kenapa?! Salah?!"

"Iya, dah. Iya... Lo kalo mau yang tertutup, ayo ke toko gamis."

"Lo niat bantuin gue gak, sih?!" Edward makin nyolot.

"Sebenernya kagak." Lani menjawab santai. "Cuma karena lo keliatan goblok dalam memahami wanita, gue jadi kasian."

"Si Anjing!"

Dua manusia itu keluar dari toko, berjalan mengitari pusat perbelanjaan sambil melirik ke beberapa toko yang terlewat.

"Eh! Mending beli itu aja, deh." Lani menunjuk lingerie yang terpajang di salah satu toko.

"Si Anjir! Gue maunya beli dress!"

"Itu juga dress."

"...."

"Dress dinas."

"...."

"Lagian kan elo juga yang nikmatin."

Telinga Edward memerah.

🍀

"Ay...."

Mata Aya seketika terbuka saat mendengar ketukan pintu dari luar.

"Masuk, A..."

Sesaat setelah perintah terucap, Edward masuk dengan menjinjing sebuah paper bag berwarna ungu.

Seharusnya Aya belum tidur, kernyitan di dahi Edward seolah menyiratkan tanya dalam benak lelaki itu. Melihat Aya meringkuk di balik selimut, jelas berbeda dengan Aya yang biasa menunggu di ruang tengah sambil menonton tv di jam-jam seperti ini.

"Kamu kenapa?"

"Lagi red day."

"Muka kamu pucet."

HAJARENDRA  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang