Happy Reading 💕
.
.
.
Enjoy 💕
.
.
.
❤❤❤
Narada kembali menghampiri putra sulungnya yang masih terbaring di atas ranjang dengan selimut sutra. Ibu dari dua anak itu, duduk di sisi ranjang seraya menatap sendu sang putra. Perlahan ia mengusap lembut surai hitam anaknya.
"Kenapa kau melakukannya anakku? Kenapa kau harus mengorbankan dirimu demi orang lain? Tidakkah kau tau, hidupmu sangat berharga." ucapnya sendu. Narada bahkan tak dapat menahan air matanya, ketika menatap wajah pucat anaknya dan jemarinya yang sedingin es.
BRAK!!
Terdengar suara dobrakan pintu dari belakang. Sontak Narada berbalik, ia melihat sosok pria yang terengah. Wajahnya berceceran peluh, bahkan rambutnya ikut basah.
"Hah...hah...hah... Maafkan aku Yang Mulia."
Pria itu bergegas masuk lalu berlutut di depan Narada.
"Maafkan aku Yang Mulia. Aku baru mendengar dari prajuritku, bahwa kau datang berkunjung. Maafkan keterlambatanku." Ujar Pria bernama Matthew, atau sekarang dipanggil Mew karena kebijakan dari sang Raja sejak 20 tahun yang lalu.
Narada mendengus remeh, ia beranjak dari ranjang lalu berjalan menjauhi Mew. Narada berhenti di depan cermin besar di kamar itu, menatap dirinya dengan Mew yang masih berlutut di belakangnya.
"Apa sebegitu sibuknya kau? Sampai meninggalkan suamimu, Matthew?" lirih Narada tanpa menatap wajah Mew yang gelisah.
"Maafkan aku Yang Mulia. Bukan maksudku meninggalkan Gulf. Tapi aku harus mengurus jenazah para korban yang diakibatkan dari peperangan tempo hari. Hamba selalu menyempatkan datang dan menjaga Gulf dikala malam."
"Jenazah korban perang bisa diurus bawahanmu. Kenapa kau begitu sibuk, Panglima?" Narada berbalik, menatap tajam wajah Mew.
"Bangunlah," titah Narada yang segera dipatuhi Mew. Pria jangkung itu segera bangkit.
"Terimakasih Yang Mulia."
"Sudah berapa lama kau menikahi putraku?"
"Sekitar 5000 tahun yang lalu Yang Mulia."
"Lalu kenapa kau masih memanggilku Yang Mulia? Bukankah aku sudah menyuruhmu memanggilku Ibu?"
"Ah maaf Yang- Maksudku Ibu. Aku masih belum terbiasa." sahut Mew ragu-ragu.
"Sudah 5000 tahun, kau mengambil anakku. Memisahkanku dengannya, kau sudah terbiasa dengan sifat membangkangmu. Lalu kenapa kau tak mau menurut sekali ini?"
"Ma-maafkan aku ibu?"
"Berhenti meminta maaf. Dimana harga dirimu sebagai Panglima perang? Biasakan hal itu. Jangan sampai aku mengingatkannya lagi padamu."
"Baik ibu." Mew mencoba untuk menatap mertuanya. "Tapi, ada apa ibu kemari? Apa ada sesuatu yang penting terjadi?"
"Ck! Kau sama bodohnya dengan Rajamu." Narada lalu berjalan ke sisi ranjang, tatapannya tertuju pada putranya.
"Anakku yang berharga, terluka karena kekacauan itu. Aku begitu kasihan padanya, karena dua pria yang kupercayakan bisa menjaganya. Tetapi malah meninggalkannya."
"Ibu, bukan begitu."
"Diam! Aku belum selesai bicara!" Bentak Narada.
Sontak Mew menunduk, ia tak mau mertuanya mengamuk, karena itu akan menambah kekacauan di istana ini. Masalah perang belum selesai, sekarang ia tak mau memancing amarah Dewi Narada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gudang Keramat [ON GOING]
Fiksi PenggemarSiang itu seseorang terdengar mendesah di dalam gudang kosong di belakang gedung Fakultas Olahraga. Tepat di belakang Lapangan tua di bawah pohon beringin. Win tak bisa menahan hasratnya. Dia dengan tanpa rasa takut, masuk ke dalam gudang kosong it...