❍ Bintang Sirius

229 83 65
                                    

"Kopinya sudah dingin, kenapa tidak diminum?"

"Mungkin nanti hingga kopi itu panas kembali."

"Tuan bagaimana mungkin, itu mustahil. Minum saja kopi itu, rasanya tidak akan enak bila sudah mendingin."

"Yah begitupun tentang perasaanku."

     Fana terdiam sejenak mencoba mencerna percakapan dingin antara pria dan wanita di tv.

"Fana, makan makananmu." Fana tersentak kembali fokus pada makanan di atas mejanya.

"Ibu, apakah seorang wanita dan pria akan terus saling mencintai hingga akhir?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja.

"Apa maksudmu?" Fana mengerutkan alis, bukankah pertanyaannya itu cukup jelas.

     Tak ada jawaban dari Fana, entah mengapa pikirannya bisa melayang pada hal rumit semacam itu, bagaimanapun dia tak sungguh dengan pertanyaannya.

"Aku selesai," ucapnya lalu pamit dengan piring yang sudah tandas isinya.

     Fana membawa piring kosong itu ke wastafel, mencucinya beserta sendok dan gelas. Di tatapnya jendela di hadapannya.

"Hujan."

   Rintik demi rintik perlahan membasahi jendela, semakin lama semakin deras.

"Fana matikan keran airnya," tegur ibunya menyadari air sudah tumpah ruah dengan Fana yang entah sedang melayang kemana.

    Fokus Fana kembali pada cucian piringnya, mematikan keran air lalu menyusun piring yang sudah di cucinya.

"Fana," panggil sang ibu.

"Sesungguhnya tak ada yang benar-benar abadi, bahkan mereka yang katanya saling mencintai hingga akhir pun tetap akan terpisah oleh gundukan tanah."

    Fana terdiam sejenak, lalu mengangguk menanggapi pernyataan ibunya.

"Baiklah, selamat malam ibu."

   Kecupan singkat dia berikan kepada ibunya, lalu meninggalkan sang ibu dengan raut wajah tak terbaca.

❍❍❍

"Kak Lintang," panggil seorang gadis muda, tingginya hanya sebatas pundak Lintang.

"Hem?" Gadis itu menyerahkan sebuah kamera baru yang di belinya kemarin.

"Oh ya baiklah, makasih Ra." Lintang mengusap lembut kepala adiknya.

    Auzora Gemintang, adik perempuan yang usianya hanya terpaut setahun dari Lintang. Gadis manis dengan senyum menawan.

"Kameranya untuk apa?" tanya Zora memperhatikan kakaknya yang sedang mensetting kamera itu.

"Hanya ingin memotret beberapa bagian langit dan bintang."

"Tumben sekali kakak tertarik pada hal seperti itu," kata Auzora melirik jendela namun udara di luar bahkan sangat dingin dengan butiran bening yang terjatuh dari langit.

"Entahlah hanya ingin," jawab Lintang mengarahkan kamera itu pada adiknya, menjepret tangkapan candid.

"Ih kakak nyebelin banget!" geram Zora kemudian mengacak rambut kakaknya.

"Hahah kamu cantik kok, lihat nih." Lintang menunjukkan hasil potretnya.

"Kakak! Cantik apaan, ih jelek banget." Zora mencubit perut Lintang, berhasil memecahkan tawa cowok itu.

   Lintang mencubit gemas pipi Zora lalu menciumnya singkat. Zora semakin mengerucutkan bibirnya mendapat perlakuan manis dari sang kakak.

"Tak ada sepercik pun cahaya bintang malam ini." Zora menatap langit malam dari balik jendela.

Find Me Please!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang