❍ Citrine Haumea

49 18 0
                                    


"Dari mana saja kau? Beberapa hari ini tidak pulang!" bentakan itu menusuk kuping Haumea yang baru saja tiba di rumahnya.

"Apakah saya sudah mulai menarik untuk di perhatikan tuan?" Nada menusuk dan sinis Haumea tujukan untuk sang ayah, lalu pergi berlalu begitu saja.

"Citrine Haumea, setidaknya jawab pertanyaan ayahmu!"

    Gadis itu menghela napas sejenak, berbalik dan mendapati ayah serta ketiga saudara kandungnya duduk berkumpul di ruang tengah.

"Muak sekali mendengar nama indah itu mengalun dari mulut ayahku tercinta, rasanya saya ingin membuang nama depan yang tidak ada artinya sama sekali."

"Haumea! Ayah tidak mendidikmu untuk menjadi gadis pembangkang yah!" Amarah Amalthea.

"Kak, sudah hentikan, jangan memarahi Mea," lirih Valuna membela adiknya.

"Valuna, kau diam saja tidak perlu membela anak sepertinya!" Pluto ikut turun tangan.

"Maafkan saya, menganggu ketenangan keluarga kalian. Saya hanya seorang pembunuh dan pembangkang sangat tidak cocok berada dirumah penuh kemegahan milik ayahanda tuan Citrine," ucap Haumea menjaga nada bicaranya tetap dingin namun berusaha sopan.

   Membosankan, Haumea lagi-lagi harus menghadapi kakak dan ayahnya di situasi hatinya sedang buruk, semakin membuatnya jengkel saja.

"Haumea! Jaga ucapanmu!" Sang ayah naik pitam.

"Ada apa tuan? Sedari tadi saya tetap menjaga ucapan saya. Saya dengan lapang dada jika tangan anda akan mendarat lagi di pipi saya, saya juga sudah mulai bosan mendengar umpatan dan hinaan untuk saya, saya pamit butuh istirahat."

    Valuna menatap adiknya khawatir, entah keberanian darimana adiknya itu menatap sang ayah dengan tatapan tanpa takut sama sekali.

"Haumea, setidaknya kemari dan makan malamlah bersama kami," ajak Valuna.

  Pluto, Amalthea dan sang ayah menatap ke arahnya bingung. Haumea tersenyum sekilas, sudah seperti dugaannya ketika kembali menginjakkan kaki di rumah ini, Valuna satu-satunya yang akan membelanya.

"Hem kemarilah dan makan, ini bukan keinginanku tapi permintaan kakakmu," ucap Citrine sedikit melunak.

"Oh sudahkah anda sudi semeja dengan anak yang telah menjadi sebab kematian istri anda?" Haumea mendekat, bukan ke arah ayahnya tapi ke arah sang kakak yang duduk lemah di kursi roda.

"Terima kasih selalu membelaku, kakak tidak perlu mengkhawatirkanku," bisiknya pelan, tersenyum lalu mengecup singkat pipi kakaknya.

Brak...

   Tubuh kecil Haumea terdorong sampai menabrak vas bunga di belakangnya, Pluto pelaku dari jatuhnya Haumea. Gadis itu tak masalah justru berdiri dengan senyum terbaik yang di paksakan.

"Maafkan saya tuan, nona. Izinkan saya kembali ke kamar," ucapnya mengakhiri.

     Haumea beranjak pergi, luka di kakinya ia hiraukan berlalu ke kamar belakang, kamarnya selama bertahun-tahun. Hari ini dia lebih beruntung tak mendapat pukulan dari ayahnya.

"Cuih menyesakkan sekali, menyedihkan, memuakkan!" teriaknya kesetanan setelah sampai di kamarnya.

    Gadis itu membuka seragam sekolahnya, tubuhnya di penuhi memar hasil bertengkarnya di sekolah. Tidak ada yang akan peduli, keluarga ini sakit semua.

"Jika bisa akupun tidak ingin dilahirkan, aku pun tidak ingin berada di keluarga tak waras ini. Seharusnya kalian bunuh saja aku!" teriaknya berharap siapapun di luar sana mendengarnya.

   Tidak ada air mata sama sekali, sudah kering mungkin. Dia tidak lagi membutuhkan kasih sayang dari keluarga menjijikkan ini, tidak lagi memohon pengampunan saat sang ayah memukulnya, tidak lagi menangis saat sang kakak menghinanya dengan ucapan pedas. Muak, dia sudah muak.

   Di dewasakan oleh keadaan, di kuatkan oleh kenyataan lalu di banting kembali saat dirinya pulang meminta kehangatan, sudah cukup semua itu. Haumea tidak membutuhkannya lagi.

"Cih menyakitkan bunda, bunda kenapa memilih melahirkanku daripada terus bersama keluargamu yang bahagia? Kenapa bunda meninggalkanku?!"

   Diam-diam Valuna mendengar teriakan sang adik dari luar kamar, ragu untuk mengetuk pintu dan membiarkan adiknya hingga tenang, tapi justru kepedihan yang di dapatinya.

"Mati! Mati! Mati! Mati saja kau Haumea, kau tidak berguna! Dasar anak setan!" umpatnya pada diri sendiri, tangannya sudah mengelurkan darah karna terus memukul tembok.

"Hiks, Mea." Isakan itu tidak sengaja lolos dari mulut Valuna, menyakitkan sekali melihat adiknya menderita sendirian.

   Anak kecil yang di paksa dewasa, kehilangan kasih sayang saat dia sangat membutuhnya, Valuna bertanya-tanya seperti apa hidup sang adik selama ini.

"Valuna, kenapa kau menangis sendirian disini?" tanya Pluto menghampiri sang adik.

   Valuna menutup mulutnya, air mata tak bisa dia bendung, terus menunjuk pada pintu kamar Haumea, dia tidak sanggup lagi.

"Kenapa hei, katakan pada kakak. Apa yang terjadi?" panik Pluto.

    Dia segera menggedor pintu sang adik, takut-takut terjadi sesuatu yang mengerikan, di lubuk hatinya paling dalam dia sangat menyayangi Haumea.

"Mea! Buka pintunya!" teriak Pluto.

     Terus menggedor pintu, tapi Pluto tidak mendapatkan tanda-tanda pintu itu akan terbuka. Dengan segera dia mendobrak pintu kamar Haumea.

"Meaaa! Apa yang kau lakukan?" teriaknya segera menghampiri sang adik.

   Kacau, tubuh kurus dengan rambut yang menutupi sebagian wajahnya, tangan yang berdarah namun seolah tak memiliki jiwa.

"Haumea, jawab kakak! Mea sadarlah!" Haumea tampak seperti jiwa yang kosong.

"Aku tak apa, tidak perlu mengkhawatirkanku," ucapnya mengabaikan sang kakak, Mea beranjak ke kamar mandi.

"Kakak," lirih Valuna, mata gadis itu masih memerah.

"Apa yang telah kulakukan pada adikku?" Pluto menyesali perbuatan kasarnya.

   Sosok Haumea yang dikenalnya dulu tidaklah seperti ini, gadis itu berubah total. Penyiksaan batin yang di terimanya membuat alasan cukup untuk menutup hatinya rapat.

   Sejujurnya Pluto sangat menyayangi Haumea, dia bertindak kasar pada sang adik karna takut ayahnya yang akan turun tangan dan perlakuan yang di terima Haumea semakin parah.

"Valuna, kembali kekamarmu dan beristirahatlah kakak akan berbicara dengan Mea." Valuna menggeleng tidak ingin meninggalkan kamar sang adik.

    Berkali-kali Pluto mencoba membujuknya akhirnya gadis itu menurut.

"Jangan lakukan hal kasar pada Meaku," peringat Valuna sebelum pergi.

    Pluto menelusuri kamar milik Haumea, kamar kecil dan berada di tempat paling ujung di rumah ini. Tidak ada hiasan apapun, hanya tempat tidur dan meja belajar dikamar itu, sang ayah begitu tega menelantarkan putrinya.

"Oh tuan masih dikamarku? Kamar ini sangat pengap dan ti---

   Dekapan ditubuh Mea membuat ucapan gadis itu terpotong.

"Mea jangan sembunyikan apapun dari kakak." Pluto menatap dalam mata Mea, memperhatikan setiap inci tubuh adiknya, penuh lebam.

"Apa yang terjadi padamu?" tanyanya khawatir, Haumea justru berusaha melepaskan pelukan sang kakak.

    Memakai pakaiannya dan memasukkan beberapa buku kedalam tasnya. Pluto hanya memandangi sang adik bingung.

"Tidak perlu di pikirkan, aku akan keluar malam ini. Menginap di rumah temanku, oh yah katakan pada ayah, tidak maksudku tuan Citrine walaupun aku yakin dia tak akan peduli. Aku akan pulang besok." Haumea melompat dari jendela kamarnya, meninggalkan Pluto yang masih berusaha mencerna keadaan.

"Melelahkan sekali."

[FIND ME PLEASE!]

Jangan lupa vote dan koment!!

Find Me Please!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang