Saat hening dan sepi masih merudung di waktu pagi, Dana malah dengan segera mengayun langkah untuk turun ke lantai dasar. Ada satu hal yang ingin ia pastikan, sesuatu yang mungkin sebentar lagi akan ia sebut sebagai sebuah kebiasaan.
"Bi Ima ..." Wanita yang tengah fokus memasak itu menolehkan wajahnya, melihat tepat ke arah tuan mudanya.
"Iya, Mas? Ada apa? Cepat banget ke dapurnya," ujar sang ART. Karena ini sudah masuk waktu libur, tidak biasanya Dana akan secepat ini nangkring di dapur, terlebih jika alasannya hanya sekedar mencari makanan.
"Lihat Mama, Bi?"
"Oh, Ibu udah pergi dari jam empat tadi, Mas."
"Oke!"
Dana hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Benar, inilah yang ia sebut kebiasaan. Tidak mama atau papanya, kedua orang ini seringkali pulang sebentar, kemudian pergi tanpa berpamitan. Kepulangan mereka yang kalau boleh jujur Dana katakan, tidak meninggalkan kesan apa-apa.
Sibuk sih iya, tapi ... Apa mereka tidak sadar bahwa sekarang Dana telah tiba di masa liburannya? Tak ada kah sedikit waktu yang bisa mereka sisihkan untuk putra tunggalnya ini? Sehari saja.
Lelaki yang masih mengenakan pakaian santai itu niatnya hendak kembali ke kamar. Namun, terdengar suara ketukan dari pintu utama, yang sontak membuatnya dan Ima menoleh serempak.
"Bibi bukain pintunya dulu, Mas." Wanita itu sudah bersiap-siap untuk mematikan kompor, tapi Dana dengan cepat menahannya.
"Biar Dana aja," ujarnya dengan mata yang masih melirik ke arah pintu. "Siapa juga yang bertamu pagi-pagi buta," sambungnya sembari menuju kesana.
Cklek!
"Mabok lagi lo?!" Suara keras sarat kemarahan itu spontan langsung keluar setelah penglihatannya menangkap sosok yang sangat ia kenali.
"Enggak!" Sahut lelaki lain yang saat ini tengah berhadapan dengan Dana.
"Terus, ngapain kesini? Masih pagi lagi, gak tau waktu lo?"
Sebelah tangan Dana tetap setia memegangi pintu, menahannya agar tak terbuka lebih lebar, seolah-olah sang tamu tak akan pernah dibiarkan masuk.
"Diusir, anying!"
"Oh."
Lelaki yang tengah bernasib malang itu malah mendadak cengo.
"Oh doang? Gak disuruh masuk nih?" Tanyanya tak percaya.
"GAK!" Jawab Dana telak dan langsung saja menutup pintu. Dari ujung dapur, Bi Ima melirik dengan heran, apa gerangan yang terjadi antara tamu dan majikannya itu?
"HEH, DANAA!"
"Berisik banget, gila! Diusir satpam entar lo." Pintu rumah kembali dibuka dengan lebar, menampilkan Dana dengan wajahnya yang super datar. Tanpa ada lagi kata yang keluar, ia langsung berbalik dan berjalan pelan menuju lantai dua.
"Bi, bentar lagi tutup aja pintunya!" Suaranya sengaja dikeraskan sebagai isyarat perintah masuk dengan gaya yang berbeda.
Sosok di luar sana jelas merasa tersindir, dan seketika langsung melangkah ke dalam. Ia pun tak lupa menutup pintu dan berjalan mengikuti Dana.
"Dana kamvret!" Desisnya pelan namun masih terdengar di telinga Dana.
"Lo kalau mau numpang, jangan kasar!"
Andai ... Dana buka bestie, sahabat sejati, dan yang selalu setia berbaik hati kepadanya, mungkin sudah digeplaknya kepala lelaki itu karena seringkali menistainya.
"Bi," sapa sosok itu sopan ketika melihat Bi Ima saat mereka hendak naik tangga, menuju kamar Dana.
"Eh ada Mas Pandra." Terjawab sudah keheranan Bi Ima sejak tadi, jika memang ini tamunya, tidak perlu dipertanyakan lagi, Tom and Jerry versi Indonesia.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐀𝐍𝐀𝐃𝐘𝐀𝐊𝐒𝐀 [✓]
Teen FictionPernah merasakan bagaimana rasanya diabaikan? Tidak dianggap ada, atau semacamnya? Pernah melakukan sesuatu yang sudah sangat sesuai dengan apa yang didambakan seseorang, namun tetap tak dipandang olehnya? Jika pernah, itu artinya kita sama. Lelah...