"Ada satu nasehat yang harus Om kasih tau ke kamu."
"Apa tuh?"
"Kunci kesehatan itu cuma ada satu, yaitu jangan sakit!"
Dari jarak yang sedikit jauh, Inara turut menyunggingkan senyum ketika melihat Dana tertawa lepas akibat guyonan suaminya. Sejak tadi, mereka terus berbincang banyak, saling melempar candaan hingga Dana tampak sangat bahagia malam itu.
Faizan datang menggantikan perannya, yang sejak tadi tak terlalu mampu berlama-lama bersama dengan Dana. Faizan kali ini dengan telaten menemaninya. Mengajaknya berbicara tentang banyak hal, sambil terus menyuapi Dana beberapa potong bolu coklat, makanan yang sempat ia beli sebelum datang kemari.
Faizan tak hanya berusaha menghibur Inara, tapi juga memasok kesenangan kepada Dana. Agar nanti ke depannya, jika ia menemukan sebuah kabar buruk, maka diharapkan hatinya tak terlalu hancur.
Sekarang, lelaki itu sepenuhnya sedang mengambil peran seorang ayah. Yang biasanya akan menghibur anaknya setelah diterpa masalah panjang. Faizan tau apa yang telah dialami Dana pagi tadi, semuanya telah diceritakan Inara kepadanya. Karenanya, mengembalikan mood baik pada dirinya dipikir sudah menjadi pilihan tepat untuk membantu penyembuhannya.
"Mau lagi," pinta Dana ketika kue di mulutnya sudah habis. Faizan langsung mengambil potongan kecil lainnya, dan lagi-lagi kembali menyuapi anak itu.
"Enak enak enak," serunya dengan tampang yang menggemaskan.
"Emang doyan," sahut Faizan sembari tertawa ringan. Ini kan kue coklat, sedangkan makanan favorit Dana adalah semua hal yang mengandung coklat.
"Bunda nggak mau?" Karena melihat sang bunda yang sejak tadi berjauhan dengannya, ia pun memutuskan untuk membuka kata.
"Dana aja dulu, bunda nanti," jawab wanita itu seadanya.
Dana awalnya belum bereaksi apa-apa, tapi beberapa saat kemudian langsung menoel-noel tangan Faizan.
"Bunda dari tadi pagi aneh banget loh, Om. Masak jadi jarang ngomong sama Dana. Ada masalah, ya? Atau lagi marahan sama Oom?" Anak itu bertanya dengan kerasnya, sengaja agar terdengar juga oleh Inara. Matanya bahkan turut melirik kesana.
Faizan tersenyum, kemudian melirik sebentar ke arah istrinya, lalu kembali kepada Dana.
"Biasalah, Dan. Rumah tangga, rumit," jawabnya, memalsukan alasan.
"Karena yang sederhana itu adalah rumah makan," jawab Dana saling melengkapi kalimat.
Sepertinya prinsip mereka malam ini adalah, no receh no life.
Dana kembali melanjutkan makannya. Sesekali juga menjeda untuk menegak air putih. Agaknya malam ini ia tak akan makan nasi, karena sudah terlanjur kenyang dengan bolu tersebut.
"Om, tadi kasihan banget ada tikus dipukul-pukul. Mau dibunuh," ceritanya dengan serius.
Faizan menyimaknya dengan baik, pun sedikit terkejut. Makhluk mana yang begitu tega bertindak kasar kepada binatang. Meskipun hanya seekor tikus, tapi hewan itu seringkali menjadi bahan percobaan.
Inara yang turut mendengar malah mengernyitkan kening. Tadi? Dana kan selalu bersamanya. Tapi kok Inara merasa tak ada peristiwa terkait tikus itu? Atau dia yang tak sadar?
"Pertama tikusnya dikejar-kejar gitu. Dipasangin perangkap, pas udah kejebak, ya siap-siap mau disakitin."
"Terus kamu nggak nolongin? Ngelihat doang? Dih!" Faizan seperti tersulut emosi. Padahal cuma perkara tikus.
"Dana nggak bisa nolongin," lirihnya penuh penyesalan.
"Kenapa?"
"Karena Tom and Jerry-nya Dana lihat di YouTube."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐀𝐍𝐀𝐃𝐘𝐀𝐊𝐒𝐀 [✓]
Подростковая литератураPernah merasakan bagaimana rasanya diabaikan? Tidak dianggap ada, atau semacamnya? Pernah melakukan sesuatu yang sudah sangat sesuai dengan apa yang didambakan seseorang, namun tetap tak dipandang olehnya? Jika pernah, itu artinya kita sama. Lelah...