⚠️
Bab ini mengandung lebih dari 4000 kata. Siapkan diri untuk membacanya, semoga tidak bosan🙏🏻
•••
Haura berjalan dengan gontai, secara perlahan pergi meninggalkan ruangan penuh sesak itu. Ia terus menjelajahi koridor, hingga menemukan sebuah lorong sepi dengan iringan sinar temaram.
Wanita itu bersandar pada tembok, kemudian langsung meluruhkan dirinya disana. Ia memeluk kedua lututnya, menenggelamkan wajahnya, kemudian mengeluarkan segala sesak yang tadinya tak bisa dikeluarkan dengan leluasa.
Haura menangis, berteman dengan sepinya malam itu. Dengan dinginnya cuaca yang langsung menembus hingga ke tulangnya. Haura menumpahkan segala isaknya, benar-benar terluka atas apa yang baru saja ia umumkan tadi.
Dana adalah pasien anak-anak pertama yang ia tangani dengan begitu lamanya. Namun kenapa, Dana jugalah yang menjadi luka terberatnya. Kematian pertama yang ada di bawah penanganannya.
Suara derap langkah terdengar di telinganya, tapi Haura memilih untuk mengabaikannya. Mungkin itu hanya keluarga pasien yang sedang lewat, batinnya di dalam hati.
Namun, ia tak bisa untuk tidak terkejut ketika seseorang tiba-tiba berjongkok di depannya, dan langsung mendekapnya dengan begitu hangat.
"Jangan menangis," lirih orang itu sambil mengusap pundaknya lembut.
Bagaimana rasanya, menerima kalimat tersebut saat sesak di dada sedang berat-beratnya? Yang ada, tangisan itu akan semakin menjadi, bukan? Seperti itu pula yang dirasakan Haura, air matanya semakin deras setelah orang tadi berupaya menenangkannya.
"Kakak gagal menyelamatkan dia, Dek. Kakak gak becus jadi dokter," sahutnya dengan sesenggukan. Badannya sampai bergetar karena terlalu sedih atas peristiwa ini.
Riko menghela nafasnya, diam dulu sambil menyiapkan kalimat yang cocok untuk didengarkan oleh sang Kakak. Lelaki itu sebenarnya sudah ada di area rumah sakit sejak magrib tadi. Namun, ia berdiam diri di ruangan ayahnya. Dan saat dini hari tiba, ia menuju departemen sang Kakak dengan niat mengantarkan wanita itu pulang. Tapi staf disana mengatakan Haura sedang bertugas di ICU.
Riko langsung melangkah kesana, dan yang ia temukan adalah Haura dengan segenap tatapan kosongnya. Ia juga terpukul ketika mengetahui bahwa orang yang ditolongnya tempo hari, kini sudah menghembuskan nafas terakhirnya. Riko segera menetralkan perasannya, lalu mengikuti Haura sampai kesini.
"Kak, kematian seorang pasien bukan berarti dokter itu gagal. Sekelas dokter senior seperti Abi dan Umma pun pernah dihadapkan pada hal tersebut. Bahkan, mereka pernah berhadapan dengan kematian anaknya sendiri. Apakah itu bisa disebut kegagalan? Tentu tidak."
Entah kenapa, dalam proses menenangkan ini, Riko malah membuka luka lama mereka. Dimana segenap keluarganya harus kehilangan seseorang yang sangat berharga dalam hidup mereka.
Beberapa tahun silam, Abangnya Riko juga menghadap sang Pencipta karena sebuah kecelakaan. Dan dokter yang bertanggung jawab saat itu, adalah orang tua mereka. Semua usaha telah mereka lakukan, namun suratan takdir dalam hidup Abangnya berbeda.
"Apapun ceritanya, Dokter tetaplah orang yang menyelamatkan pasiennya, yang memberikan hal terbaik kepada orang tu. Kematian tak selalu berarti buruk kan, Kak? Sebuah akhir dari kehidupan terkadang memang harus ditempuh, karena bertahan pun hanya akan menambah kesakitan pada pasien itu."
Layaknya sang Abang yang kala itu terus hidup dengan bantuan ventilator. Namun, mereka semua tak pernah tau apa yang dirasakan dalam dirinya. Apakah ia selalu kesakitan? Apakah ia ingin berdamai dengan kematian saja?
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐀𝐍𝐀𝐃𝐘𝐀𝐊𝐒𝐀 [✓]
Teen FictionPernah merasakan bagaimana rasanya diabaikan? Tidak dianggap ada, atau semacamnya? Pernah melakukan sesuatu yang sudah sangat sesuai dengan apa yang didambakan seseorang, namun tetap tak dipandang olehnya? Jika pernah, itu artinya kita sama. Lelah...