Masing-Masing Luka | 2

1.3K 72 14
                                    

Pukul dua pagi, seperti rutinitas buruk pada umumnya. Pandra baru saja keluar dari tempatnya nongkrong. Baru saja selesai berhuru-hara dengan teman segengnya.

Saat keluar dari tempat itu, Pandra barulah membuka ponselnya dan membaca pesan Haura bahwa Dana sudah membaik. Ia turut senang tentunya, hingga dirinya pun segera pulang ke rumah untuk bersih-bersih. Sesuai dengan janjinya, ia akan bertemu dengan sang sahabat dalam kondisi yang sudah baik-baik saja.

Pandra melajukan motornya dengan santai, membelah jalanan sepi sambil menikmati angin di dini hari. Segar sekali, dinginnya yang mencekam sungguh menambah kenikmatan.

Beberapa saat setelah melewati banyak jalanan. Pandra akhirnya tiba di area kompleks perumahan Dana. Niatnya bukan untuk mampir, hanya saja letak rumah mereka memang searah. Pandra harus selalu melewati rumah megah itu ketika hendak pulang ke rumahnya sendiri. Tapi, ada satu hal yang membuat anak itu untuk langsung berhenti.

Di pukul dua tengah malam seperti ini, gerbang rumah Dana dibuka dengan sangat lebar. Seluruh lampu juga dinyalakan. Keterkejutan Pandra juga semakin bertambah saat menyadari bahwa pintu rumah juga dibuka habis. Menampakkan isi rumah tersebut secara terang-terangan ke jalanan.

Ini merupakan suatu peristiwa aneh yang terjadi dalam keluarga Dana. Rumahnya ini biasanya selalu tertutup, tak peduli pagi, siang, atau malam, gerbangnya selalu terkunci. Dibuka hanya ketika ada tamu masuk atau keluar.

Pandra langsung memasuki area rumah itu beserta dengan motornya. Lebih aneh lagi, dengan keadaan serba terbuka, kedua satpam malah tidak ada di pos mereka.

"Assalamu'alaikum, Bi," teriak Pandra sambil melongokkan kepalanya ke dalam rumah. Ia takut saja bahwa rumah Dana sudah kemalingan.

"Bi Imaa," serunya sekali lagi karena tak ada sahutan dari dalam sana.

Beberapa menit menunggu, barulah wanita itu muncul dari area belakang rumah. Tak lagi berlari tergopoh-gopoh seperti waktu itu. Ia hanya berjalan pelan, sembari menunduk untuk menghampiri Pandra.

"Ini gerbang sama pintu kenapa dibuka lebar banget, Bi? Pandra kira kemalingan loh. Lagian Pak Satpam pada kemana?" Tanyanya dengan nada kepanikan yang begitu kentara.

"Bi? Loh, kok gak dijawab sih? Bibi kenapa sih? Jangan bikin Pandra takut deh," ujar anak itu lagi. Karena sejak tadi, Bi Ima hanya menghela nafas panjang namun tak kunjung bersuara.

"Pak Arif sama Mas Agus ada kok di dalam," sahut Bi Ima pelan perihal keberadaan dua satpam itu.

"Ya terus kenapa gerbang dibuka, Bi? Gak dijagain lagi. Ini udah tengah malam loh." Pandra semakin frustasi karena rasa penasarannya tak kunjung di jawab.

"Emang sengaja, Mas. Semuanya dibuka karena jenazah udah dalam perjalanan." Kini, suara Bi Ima sudah begitu bergetar, mengindikasikan bahwa ia sedang menahan tangis.

"Apa? Jenazah? Jenazah siapaa?" Pandra yang belum ngeh dan belum konek langsung dilanda panik dan ketakutan.

Bi Ima menatapnya dengan kasihan, dengan penuh iba. Ia mendekati Pandra, menyentuh kedua pundak anak itu dengan lembutnya.

"Mas Pandra. Yang kuat menrima berita ini, ya. Sahabatnya Mas Pandra, sudah meninggal."

"Dana?"

Bi Ima mengangguk.

Pandra belum menunjukkan tanda-tanda kesedihannya, karena masih ada beberapa hal yang ia bingungkan. Apakah ini prank?

"Tadi, Bi. Baru magrib tadi Dokternya ngabarin saya, katanya kondis Dana sudah membaik. Sudah dipindah ke ruang biasa juga. Ini rencananya saya mau ke rumah sakit, mau temuin dia."

𝐃𝐀𝐍𝐀𝐃𝐘𝐀𝐊𝐒𝐀 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang