Oktober, 2021
•••
Hari-hari berlalu seperti biasanya. Menunjukkan banyak hal-hal baru dalam kehidupan Dana. Terlebih ketika opsi pengobatan kemoterapi mulai dilakukan. Benar sekali, Dana sudah berhasil melewati siklus pertama pengobatannya itu.
Setelah melewati serangkaian test lagi, Dana akhirnya menjalani kemoterapi pertamanya pada awal bulan Oktober. Ia cukup takut pada awalnya, segala bentuk kekhawatiran muncul begitu saja di dalam kepala. Mulai dari pertanyaan, apakah kemoterapi itu sakit? Apakah efeknya benar-benar menyiksa?
Jawabannya adalah, selama proses masuknya obat itu ke dalam tubuhnya, sama sekali tidak sakit. Persis seperti saat diinfus biasa. Untuk efeknya pun, kali ini Dana masih beruntung karena belum seberat itu. Ia hanya merasa mual beberapa hari, sedangkan yang lainnya aman-aman saja. Rambutnya juga tak sebegitu rontok layaknya yang ia takutkan.
Kini, di penghujung suatu sore, Dana pulang sekolah seperti biasanya. Ketika baru membuka pintu, lelaki itu masih terlihat santai. Namun tidak lagi saat netranya menangkap sosok Inara yang tengah kesakitan.
"Bundaa!" Panggilnya keras.
Dana langsung melempar tasnya asal kemudian berlari cepat ke arah Inara. Ia sangat khawatir karena wanita itu sampai menunduk dalam sembari meringis nyeri.
"Jangan lari-lari, Dana," lirihnya tetap memberi peringatan. Khawatir akan keseimbangan Dana yang tiba-tiba memburuk hingga berakhir terjatuh.
Usai pemeriksaannya kemarin, Dokter menyampaikan bahwa sel kanker juga sudah menyebar ke bagian otaknya yang mengendalikan fungsi motorik tubuh. Inilah yang mengakibatkan Dana mungkin saja akan sering terjatuh atau tersandung dengan sendirinya.
"Bunda kenapa? Apa yang sakit?" Dana sementara tak ingin peduli dengan dirinya sendiri. Sebab, keadaan Inara jauh lebih penting untuk saat ini.
"Gapapa, Nak. Cuma sakit aja perutnya, kayaknya masuk angin deh," jawab Inara untuk meminimalisir ketakutan dalam diri ponakannya.
Namun, baru saja berniat untuk menghapus kekhawatiran, Inara malah kembali merasa mual dan berjalan cepat ke kamar mandi.
Wanita itu kembali memuntahkan cairan bening, yang membuat tubuhnya semakin lemah dan sakit di perutnya terus memburuk.
"Bun, ke dokter yuk!" Ajak Dana yang menungguinya di depan pintu. Ia langsung menggapai tangan Inara saat wanita itu keluar. Membantunya untuk berjalan secara perlahan.
"Gak usah, Dan. Bunda mau istirahat aja, minum obat juga sembuh," katanya. Inara masih menganggap ini sebagai hal yang sepele.
"Yaudah, di kamar tamu aja, ya?" Tawar Dana, untuk sementara berdiam di kamar lantai dasar saja. Tidak memungkinkan rasanya untuk memaksa Inara naik ke kamarnya yang ada di lantai dua.
Inara mengangguk, menyetujui saran sang anak. Ia pun terus dipapah Dana menuju ke kamar tersebut.
"Bunda tidur bentar ya, Dan. Kamu juga langsung ganti baju, bersih-bersih, dan istirahat." Sekali lagi, Inara masih terus memperingatinya. Tak ingin Dana lengah atas kondisinya sendiri.
"Iya, Bunda," jawabnya serius sebelum pintu tertutup.
Namun, apa yang terjadi setelahnya? Dana malah mengurungkan niatnya untuk naik ke atas. Anak itu mulai membuka kemejanya disana, menyisakan sehelai kaos yang membaluti tubuhnya. Kemudian, ia langsung membaringkan badannya pada sebuah sofa yang terletak di depan kamar itu.
Dana hanya ingin berjaga-jaga. Siapa yang tahu jika nanti kondisi bundanya akan memburuk. Dan, ia tak bisa menemukan siapapun di sisinya.
Tanpa sadar, seiring menit berlalu, Dana malah tertidur disana. Matanya terus memberat sangking lelahnya ia setiap menjalani hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐀𝐍𝐀𝐃𝐘𝐀𝐊𝐒𝐀 [✓]
Подростковая литератураPernah merasakan bagaimana rasanya diabaikan? Tidak dianggap ada, atau semacamnya? Pernah melakukan sesuatu yang sudah sangat sesuai dengan apa yang didambakan seseorang, namun tetap tak dipandang olehnya? Jika pernah, itu artinya kita sama. Lelah...