Jangan Sekarang

1.8K 90 7
                                    

Saya tidak menjamin bab ini mengandung hawa bawang. Tapi, saya sempat beberapa kali meneteskan air mata untuk menulisnya.

•••

11 Januari 2022

•••

"Mana Dana?"

Haura yang baru saja datang dengan sebuah bawaan di tangannya langsung menatap penuh tanya kepada Riza. Seorang dokter yang juga berasal dari departemen yang sama dengannya, sekaligus adalah calon suami wanita itu. Riza baru saja keluar dari ruangan Dana, tapi ketika Haura melirik ke dalamnya, itu sudah kosong tanpa satupun manusia.

"Mana, Kak?" Tanyanya lagi, namun kini dengan sedikit perasaan yang tidak enak.

"Dana sudah dipindahkan kembali ke ICU. Kondisinya baru saja menurun," jawab Riza dengan lirihnya. Kenapa ia adalah yang terakhir keluar dari ruang itu? Karena masih ada beberapa hal yang harus ia urus di dalam sana.

Haura menatapnya dengan pandangan kosong. Dalam hati takut untuk bertanya lebih lanjut perihal kondisi yang memburuk itu. Ia juga teringat bahwa baru beberapa jam lalu mengabarkan kepada Pandra  tentang Dana yang sudah membaik. Tapi, kenapa keadaan dengan begitu cepat berbalik.

Tangannya mendadak lemas karena pikiran ini, bingkisan yang tadinya ia bawa pun tanpa sengaja langsung dijatuhkan.

"Aku kesana dulu, Kak," pamit Haura yang sudah mengambil ancang-ancang untuk berjalan cepat.

Riza dengan sigap mencekal tangannya. Menahan wanita itu untuk pergi menangani pasien dengan perasaan yang tak karuan. Lelaki yang umurnya tiga tahun di atas Haura itu belum berkata apa-apa. Ia lebih dulu berjongkok dan mengambil bingkisan yang tadinya jatuh, kemudian memegangnya dengan tangan sendiri.

"Barusan, telah ditemukan banyak ruam di kulitnya. Kita memang tidak bisa mengambil kesimpulan langsung tanpa sebuah test yang pasti, namun para jajaran mengindikasikan bahwa ia kembali mengalami penurunan jumlah trombosit."

"Tidak cukup sampai disitu. Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, ditemukan banyak penurunan-penurunan lainnya. Mulai dari tekanan darah, saturasi oksigen dalam tubuh, hingga tingkat kesadaran."

"Haura, tanda-tanda itu, semuanya sudah terlihat."

Jantung Haura berdegup kencang setelah mendengar ungkapan Riza. Tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut, Haura tau tanda-tanda apa yang Riza maksudkan. Sebagai seorang dokter, ia sudah khatam akan hal itu.

"Kakak jangan ngaco. Selagi bisa ditangani, ya akan tetap kita usahakan," sanggahnya pada kenyataan.

"Memang akan terus kita tangani. Tapi, Ra, siapkan dulu hatimu sebelum kita kesana. Siapkan dirimu untuk semua yang akan terjadi nantinya. Semuanya," tekan Riza pada kata terakhirnya. Karena bagaimanapun, ada sebuah pengalaman yang belum dilalui oleh Haura.

Wanita itu mengangguk meski ragu, kemudian melepaskan dengan pelan genggaman Riza yang ada di tangannya. Ia berlalu tanpa pamit, namun Riza tentu akan mengikutinya dari belakang.

Mereka sampai di depan ICU. Berdiri di depan kaca pembatas tanpa berniat untuk masuk. Di dalam sana, sudah ada Dokter Elisa yang menangani.

"Dana coba bernafas pelan-pelan dulu, ya. Bernafas lewat mulut," tuntun Elisa yang sejak tadi setia berdiri di samping brankar pasien.

Sejak sadar dari komanya, Dana belum pernah sedetikpun lepas dari bantuan oksigen. Namun, beberapa waktu lalu, ia mengalami mimisan yang cukup berat hingga canula nasal dengan terpaksa dibuka. Itulah titik krusialnya, karena Dana nyatanya agak kesulitan bernafas sendiri.

𝐃𝐀𝐍𝐀𝐃𝐘𝐀𝐊𝐒𝐀 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang