Rumah Kedua🌊

988 76 0
                                    

Berbeda dengan hari-hari biasanya, kali ini Dana memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Seusainya mengikuti latihan renang tadi, ia langsung bersiap-siap dan pergi ke luar sekolah untuk menemui Mang Adi yang sejak tadi sudah menunggunya.

Tujuannya kali ini tidak sebegitu jauh dari rumahnya, yakni ke rumah Faizan, adik dari Mamanya. Jalanan sore ini terkesan macet, hingga Dana berkali-kali melirik jam tangannya dengan gelisah.

"Kalau telat sampe rumah, Dana gak sempat siap-siap dong, Mang," keluhnya dengan wajah yang murung.

Dikarenakan harus mengikuti latihan, jelas saja jam pulangnya menjadi lebih lama. Sekarang saja sudah hampir pukul enam dan dia belum juga keluar dari macetnya jalanan ibukota. Dia memang punya kesibukan, tapi lesnya juga punya jadwal, punya aturan yang tidak bisa seenaknya dia langgar.

"Sabar, Mas. Sedikit lagi. Di depan nanti ada jalan pintas, kita lewat situ," jawab Mang Adi, mencoba menenangkan. Ia tahu apa yang Dana khawatirkan, keterlambatannya dalam bersiap-siap tentu akan berimbas pada lesnya juga. Bisa jadi ia akan ketinggalan satu mata pelajaran, mengingat satu mapel hanya memiliki waktu satu jam.

"Kira-kira entar malam macet lagi gak, ya?"

"Kurang tau, Mas. Kenapa?"

"Ya nanti … Dana pergi les, masak macet lagi. Habis waktu di jalan aja." Dana rasanya sudah frustrasi tak karuan. Macet di hari ini sangatlah brutal, bahkan untuk sebuah kendaraan berjalan dalam hitungan meter saja lamanya minta ampun.

"Tempat lesnya Mas Dana kan di area jalur F, ada jalan lain untuk kesana. Insyaallah gak macet." Boleh diakui, Mang Adi sangat mahir dalam mendata jalan-jalan pintas disini. Dana saja baru tahu bahwa ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk sampai ke tempat lesnya, karena biasanya ia selalu melewati jalanan yang sedang macet ini.

Perlu belasan menit waktu hingga Mang Adi berhasil keluar dari kemacetan dan langsung membelokkan setir ke arah kiri, tempat jalan pintas itu berada. Mobil pun mulai melaju dengan kecepatan tinggi karena jalan ini ternyata agak sepi. Dan akhirnya, Dana tiba di depan rumah keduanya tepat ketika azan magrib berkumandang.

Pintu gerbang dari rumah besar itu spontan dibuka oleh sang satpam, yang sudah sangat familiar dengan kehadiran Dana disana. Tepat ketika Mang Adi ingin kembali memacu mobilnya, Dana dengan segera menahan,

"Gak usah, Mang. Dana jalan aja ke dalam. Mamang balik aja langsung," pintanya sembari membuka safety belt.

"Baik, Mas."

"Maksimal jam tujuh kurang lima belas ya, Mang." Dana kembali memperingati, mengingat itupun sudah terhitung mepet karena jam pertama lesnya akan dimulai pada pukul tujuh.

"Siap, Mas. Ditunggu, ya. Saya balik dulu."

Lelaki itu mengangguk mengiyakan, melepas kepergian sang supir untuk kembali melaju menuju ke rumahnya.

Setelah itu, tanpa menunggu lebih lama lagi, Dana langsung berlari menuju ke dalam. Menghembuskan nafas berat di depan pintu sembari menaikkan tangannya untuk mengetuk benda kayu itu.

Tok! Tok!

"Assalamu'alaikum … Bunda," panggilnya dengan suara yang agak keras. Agak nyeleneh memang, lagi magrib malah ribut.

"Bundaa," panggilnya sekali lagi dengan kepasrahan tingkat tinggi. Apakah bundanya sudah bersiap untuk shalat?

"Sebentar." Suara lembut itu mampu membuat Dana menghela nafas lega. Apalagi ketika bunyi kunci diputar sudah terdengar dan pintu itupun lantas terbuka.

Dana langsung menyalami sang bunda dengan takdzim. Kemudian langsung diisyaratkan untuk segera memasuki rumah.

"Kok gak ngabarin bunda kalau mau kesini?" Tanya Inara setelah mengunci pintunya kembali, ia mulai berjalan di belakang Dana.

𝐃𝐀𝐍𝐀𝐃𝐘𝐀𝐊𝐒𝐀 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang