Malam hari di kediaman Faizan dan Inara. Tepat ketika sang suami baru saja kembali dari kantornya, Inara sudah menyambut serta menanti sebuah kabar dengan perasaan cemas.
"Gimana keadaan Dana, Mas?" Tanpa menunggu waktu yang lama, pertanyaan itu langsung Inara lontarkan setelah menyalami takdzim tangan suaminya.
"Pas aku datang Alhamdulillah udah sadar. Demamnya tinggi. Terus kayaknya ada masalah sama perutnya. Batuk pilek nggak seberapa. Yang ditakutkan cuma mimisan tadi, nggak pernah dia begitu."
Sebegitu dekatnya mereka dengan Dana, hingga bisa mengetahui secara spesifik tentang riwayat kesehatan anak itu. Pola hidup Dana memang tidak baik, tapi sakit begini pun cukup jarang terjadi.
"Masalah di perut, itu maksudnya gimana, Mas?" Sembari membereskan pakaian yang tadi dikenakan Faizan, ia kembali pada sesi tanya jawabnya.
"Kelihatan kayak sakit banget gitu perutnya, di bagian kiri. Waktu aku sengaja tekan, sampe teriak. Jelas banget ada apa-apa," jelas Faizan mengingat hal yang ia lalui tadi.
Inara datang mendekat dengan wajah serius. Tampak berpikir keras hingga alisnya hampir bertaut.
"Lambung? Infeksi usus?" Tebaknya mengira-ngira.
"Nggak tau. Besok aja ke rumah sakit. Biar dokter aja yang menjelaskan."
Istrinya itu hanya mengangguk paham, kemudian memberikannya seutas senyum.
"Malam ini Mas kesana lagi nggak?" Tujuan yang dimaksud jelas saja adalah rumah Dana.
"Iya, bentar lagi lah. Kenapa? Kamu mau ikut?"
"Ikut dong," sahut Inara penuh semangat. Sembari menanti kepergian mereka, wanita itu niatnya hendak turun ke lantai dasar dulu, menyiapkan makanan untuk sang suami, barulah bersiap-siap atas dirinya. Inara sebenarnya sudah masak sejak tadi, tapi karena kepulangan Faizan yang agak telat, makanan itu sudah terlanjur dingin.
Kalimat pamit terlontar dari bibirnya, yang langsung ssja dibalas oleh anggukan Faizan. Baru tiba tangan Inara pada gagang pintu, dering hp Faizan tiba-tiba saja terdengar begitu keras.
Ponselnya diletakkan di atas meja rias, yang kebetulan berada tak terlalu jauh dari pintu. Inara mengurungkan niatnya untuk keluar, ia lantas berjalan mengambil benda itu dan memberikannya kepada Faizan.
"Siapa?" Tanyanya sembari menerima.
"Nomor tidak dikenal," jawab Inara lirih. Biasanya ia tidak terlalu peduli dengan siapa yang menghubungi Faizan, tapi kali ini ia bahkan berdiri di dekat suaminya, ingin tahu apa yang dikabarkan oleh orang yang tidak diketahui itu.
"Halo, ini dengan siapa?" Panggilan sudah tersambung. Namun, suara dari sana tak akan bisa didengar oleh Inara karena volume panggilan Faizan sangat kecil. Ia hanya bisa memperhatikan mimik wajah suaminya saja.
"Bi Ima, Pak. Pak Faizan, i-itu, ya Allah … Dana pingsan lagi, Pak."
Kepanikan wanita itu seolah naik beberapa level dari kepanikannya siang tadi. Faizan juga bisa mendengar suara keributan jalan di sela-sela omongannya.
"Kok bisa, Bi? Karena apa sebelumnya?" Faizan masih mengusahakan dirinya untuk tenang.
"Saya juga nggak tau, Pak. Tadi saya kebetulan mau nganterin obat ke kamarnya, terus lihat Mas Dana udah terbaring di lantai, udah nggak sadar."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐀𝐍𝐀𝐃𝐘𝐀𝐊𝐒𝐀 [✓]
Teen FictionPernah merasakan bagaimana rasanya diabaikan? Tidak dianggap ada, atau semacamnya? Pernah melakukan sesuatu yang sudah sangat sesuai dengan apa yang didambakan seseorang, namun tetap tak dipandang olehnya? Jika pernah, itu artinya kita sama. Lelah...