Keesokan harinya, setelah lebih dari dua puluh enam jam pilu pertama menyerang. Faizan kembali mencoba untuk menghubungi kedua orangtua Dana. Bagaimanapun ini harus diberitahu. Mereka diharapkan bisa berperan lebih jauh, lebih dalam lagi untuk kembalinya semangat Dana.
Tidak bisa dipungkiri, kesedihan dan kekecewaan masih melingkupi dirinya. Meski semalam sebuah kemajuan sudah terlihat, saat anak itu menghabiskan makanannya dan meletakkannya kembali di luar sesuai dengan instruksi Inara. Namun sesudahnya, ia kembali berdiam diri di kamar. Belum sekalipun menginjakkan kaki ke lantai dasar ini. Dana sama sekali belum terlihat oleh mereka.
Guna terus mengontrol Dana, Inara tak pernah bosan melayangkan pesan kepadanya melalui SMS. Cara yang kuno sekali bukan? Disaat sudah maraknya media sosial berbasis internet. Tapi hendak dikata apa? Dana sama sekali tak membuka data selulernya. Semua akun media sosialnya tidak aktif. Karena itulah ia hanya bisa dihubungi melalui seluler. Inara percaya bahwa Dana pasti membaca setiap pesannya, walau tetap saja, tak ada balasan barang satu huruf pun dari pihak sana.
"Berhubung ini hari libur, semoga ada respon baik dari mereka. Minimal, dijawab aja dulu." Faizan berkata sambil melirik ponselnya, yang sudah memperlihatkan kontak Hanif pada layarnya. Saat ini, yang memiliki peluang besar untuk peduli hanyalah sang ayah, karenanya Qaisa diturunkan menjadi opsi kedua untuk dikabari.
"Bismillah aja, Mas. Semoga Mas Hanif juga lagi gak sibuk. Kalau ada kerjaan, weekend pun mau dibilang apa?" Sahut Inara atas pernyataan suaminya tadi. Ia sedang duduk di samping Faizan, sama-sama berada di ruang tamu untuk hal yang serius ini. Sebenarnya, pesan teks beserta foto surat hasil pemeriksaan sudah dikirimkan, hanya saja tidak dibaca sampai sekarang.
Sambungan telpon dimulai. Jarak antarnegara mulai dikikis demi sebuah informasi ini.
"Assalamu'alaikum, Mas Hanif," salam Faizan dengan sedikit kelegaan. Tersambungnya panggilan ini saja seolah sudah mengangkat sedikit beban dari dalam dirinya.
"Wa'alaikumussalam, Faizan. Ada apa?" Jawab Hanif dari sebuah tempat yang terdengar bising, seolah banyak sekali orang disana. Perasaan Faizan pun mulai tak enak, akankah kabar ini sampai dengan mulus?
"Mas sibuk, kah? Ada yang mau Faizan omongin," ungkapnya sebagai basa-basi.
"Apa, Zan?" Terlihat jelas bahwa pertanyaan pertama tidak dijawab. Lelaki di seberang sana tak mau mengakui kenyataan, namun tetap ingin mendengar apa yang ingin disampaikan.
"Dana sakit, Mas." Selagi ada kesempatan, Faizan langsung mengatakan inti topik.
"Sakit lagi? Kali ini kenapa? Kecapean lagi? Atau masalah lambungnya kambuh? Sempat dirawat di rumah sakit tidak?" Pertanyaan beruntun langsung dilontarkannya tanpa jeda. Membuat Faizan bingung hendak menjawab yang mana dulu.
"Kecapean juga iya, Mas. Beberapa hari lalu__"
"Iya, saya segera kesana. Sebentar."
Pembicaraan Faizan seketika terhenti saat suara percakapan lain terdengar. Hanif tampak menahan seseorang yang mulai memanggilnya.
"Beberapa hari lalu baru keluar dari rumah sakit," sambung Faizan menyelesaikan kalimatnya.
"Ohiya? Berapa lama dirawat?" Saat bertanya ini, suara grasak-grusuk kursi yang tergeser, benda yang diambil, serta derap langkah sudah mulai terdengar.
"Sekitar semingguan, Mas."
"Hasil diagnosisnya apa?" Ini adalah waktu yang paling Faizan tunggu. Kebetulan juga Hanif sudah bertanya duluan. Faizan membuka mulutnya, mengeluarkan berita itu secara jelas.
"Dana didiagnosis menderita kanker, Mas. Kanker otak." Jantung Faizan entah kenapa langsung berdegup kencang setelah mengatakan ini.
"Apa, Zan? Luka?"
"H-hah?" Bukannya Hanif yang terkejut, malah Faizan yang mendadak cengo. Kenapa bisa jauh sekali?
"K-kanker otak, Mas. Sekarang sudah stadium akhir." Faizan dengan sabar menjelaskannya kembali.
"Aduh, Zan. Maaf banget, ini di tempat Mas rame sekali. Udah di ruang rapat soalnya. Suara kamu beneran gak kedengaran. Nanti kalau ada waktu Mas telpon balik, ya."
"Mas titip Dana ya, Zan. Tolong dijagain. Kalau mau dibawa tinggal sama kamu juga gapapa. Salam buat dia. Mas tutup, ya. Assalamu'alaikum."
Tut!
"MAS?! MAS HANIF?"
Panggilan dimatikan begitu saja. Bahkan untuk sekedar menjawab salam pun, Faizan belum sempat. Lelaki itu hampir saja mengumpat, namun masih sedikit bisa ditahannya karena berusaha memaklumi kesibukan abang iparnya itu. Benar kata Inara, jika ada kerjaan, meskipun weekend, hendak dikata apa?
Urutan kedua mulai diluncurkan. Kepada sang kakak yang saat ini juga sedang berdinas. Belakangan Faizan tak mengetahui dimana keberadaannya. Karena ada info yang mengatakan bahwa wanita itu sedang tidak berada di kantor Pusat Dakara.
Meskipun berada di sebuah lembaga yang sama, bertemu secara langsung tetaplah hal yang sulit dilakukan.
"Halo, Zan. Kenapa nelpon?" Belum apa-apa, Qaisa sudah menohok adiknya dengan pertanyaan inti.
"Mbak dimana?" Persetan dengan pertanyaan yang lebih awal dilontarkan Qaisa, ia lebih mementingkan pertanyaannya sendiri.
"Di Jakarta. Kenapa?"
"Kata staf Mbak lagi di luar daerah. Kalau memang di Jakarta, kenapa gak pulang ke rumah? Inget Dana, Mbak," tegur Faizan seperti biasanya. Posisinya memang sebagai adik, tapi untuk sebagian keadaan entah mengapa ia merasa ingin tukar posisi.
"Di Jakarta pun banyak kerjaan, Zan. Kamu kayak gak tau aja di kantor pusat itu sesibuk apa. Kenapa nelpon? Ini udah ketiga kalinya Mbak nanya. Dijawab!" Menyandang posisi anak pertama, membuat Qaisa terbentuk menjadi pribadi yang tegas, keras, plus tidak suka basa-basi.
"Ada yang mau aku omongin soal Dana. Dia sakit, Mbak."
"Terus?" Jawab acuh dari seberang sana. Meski sudah sekian lama, kemarahannya atas keputusan Hanif tempo hari belum sirna juga.
"Cuma gitu responnya? Mbak, Dana itu darah dagingmu bukan, sih? Anakmu bukan? Anak sakit kok gak peduli."
Inara turut menghela nafas panjang. Dengan pelan ia mengelus sebelah tangan Faizan, mengisyaratkan agar suaminya itu tidak terpengaruh oleh emosi.
"Ya mau gimana lagi? Paling juga sakit biasa. Kayak kemarin. Kambuh?"
"Bukan lagi kambuh, tapi penyakit baru. Kemarin aja masuk rumah sakit. Kecapean!"
"Kecapean mulu. Ngerjain apa emangnya dia? Gak usah beralasan deh. Kok makin kesini makin lemah," sahut Qaisa yang sangat tidak mencontohkan sosok ibu yang baik.
"Gimana gak lemah? Anakmu itu sakit parah. Bukan perkara demam sehari sembuh. Makanya kalau jadi Ibu, perhatian ke anak tuh ditingkatin!"
Niat hati hanya ingin menyampaikan kabar malah terlupakan karena sejak awal sudah mendapat respon buruk dari sang kakak.
"Sakit tuh cukup dikasih obat, Zan. Gak perlu perhatian." Faizan mengumpat dalam hati. Coba saja kalau Qaisa sudah membaca pesannya, akankah masih bisa berkata seperti ini.
"Terus gimana kalau gak ada satu pun obat yang bisa nyembuhin dia?"
Ada sedih yang mengiringi keluarnya kalimat ini. Mengingat kenyataan bahwa untuk semua pasien kanker, memang belum ada formula pasti yang ditemukan. Terlebih untuk mereka yang sudah menginjak stadium akhir, pengobatan yang dilakukan cenderung hanya untuk memperpanjang masa hidup. Selebihnya, harapan dikatakan sudah terus mengecil.
"Dari jutaan jenis obat kamu bilang gak ada? Itu namanya malas nyari! Udahlah, Zan. Ngapain nelpon untuk membahas hal gak penting kayak gini. Ganggu kerjaan aja."
Tanpa salam, tanpa pamit, Qaisa langsung memutuskan sambungan secara sepihak. Berhasil menggenapkan kemarahan yang Faizan dapatkan hari ini.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐀𝐍𝐀𝐃𝐘𝐀𝐊𝐒𝐀 [✓]
Teen FictionPernah merasakan bagaimana rasanya diabaikan? Tidak dianggap ada, atau semacamnya? Pernah melakukan sesuatu yang sudah sangat sesuai dengan apa yang didambakan seseorang, namun tetap tak dipandang olehnya? Jika pernah, itu artinya kita sama. Lelah...