"Tenangkan dirimu, Dek. Tarik nafas dalam-dalam, hembuskan!"
"Sebutlah nama Allah. Minta ketenangan kepada-Nya. Jangan menangis lagi, Sayang. Kamu harus terlihat baik-baik saja di depan Dana."
"Mas, kenapa harus__"
"Sstt! Jangan lagi bertanya kenapa, ya? Ayo kita belajar menerima takdir. Lupakan semua hal menyakitkan ini. Sekarang Nara harus fokus ke Dana dulu, bawa dia bertanding dulu."
"Mas tau Nara kuat. Nara hebat dalam semua situasi. Ayo, Sayang! Temani Dana dulu, ya. Anggap semua itu tidak pernah terjadi."
Percakapan penuh air mata itu terjadi lewat sambungan telepon. Di lorong rumah sakit, Inara terduduk lemas dengan segenap kesedihan yang ia adukan kepada suaminya.
Setelah tadinya mengurus perizinan Dana, dokter yang menanganinya memanggil Inara untuk masuk ke ruangannya. Ada beberapa hal yang mereka bicarakan, yang sukses membuat Inara seolah disambar petir di tengah hari. Yang mampu meluruhkan segala butir embun dari matanya.
Inara mencengkram erat ujung jilbabnya. Memejamkan matanya, menjatuhkan bulir air mata yang tersisa. Setelah memastikan tangisnya berhenti, dan raut wajahnya dibuat senormal mungkin, ia pun berjalan kembali ke ruangan Dana. Sudah terlalu lama ia meninggalkan anak itu.
"Bunda … Kok lama banget?" Anak itu langsung berseru ketika melihat Inara. Tangannya kini sudah terbebas dari infus. Saking lamanya Inara tiba, sang supir bahkan sudah berhadir di tempat mereka.
"Maaf, Sayang. Yuk, kita berangkat," ajaknya setelah mengelus pelan kepala Dana.
Inara meraih tasnya. Sedangkan Dana langsung dibantu oleh Mang Adi. Ia membutuhkan bantuan kursi roda untuk tiba ke depan sana.
Jalanan yang mereka lalui terbilang lengang. Membuat waktu tempuh menjadi lebih cepat.
Di tengah perjalanan mereka, Dana memanggil Inara dan memberitahukan sesuatu yang semakin melukai hatinya.
"Bun, nggak bisa," ujarnya sedih sambil memperlihatkan tangannya yang bergetar.
Inara langsung melihat itu, secara bergantian juga melirik pulpen yang terjatuh ke bawah. Ternyata sejak tadi, Dana sudah mencoba untuk menggenggam alat tulisnya, tapi gagal.
Inara sedikit menunduk untuk mengambilnya, kemudian dengan perlahan kembali menggenggamkannya ke tangan Dana. Ia juga meletakkan tangannya di atas tangan anak itu, turut merasakan hawa panas yang belum hilang, dan getaran yang cukup hebat layaknya orang kedinginan.
"Bismillah. Ya Allah, mudahkanlah urusan Dana. Bantu Dana untuk melewati ini semua. Dengan namamu ya Rabb, Dana sungguh-sungguh meminta pertolongan." Sembari mengelus tangan Dana, Inara mengucapakan doa itu dengan tulusnya.
Mang Adi yang ada di depan ikut mengaminkan doa tersebut. Dirinya sungguh terharu dengan bentuk kasih sayang Inara terhadap Dana. Inara memang belum menjadi Ibu jika berbicara tentang keberadaan anak kandungnya, tapi ia sudah berhasil menjadi sosok ibu bagi Dana. Sosok ibu yang sangat sempurna.
"Dana jangan takut, Dana harus selalu tenang. Dana bisa," lirih Inara pelan sambil terus menggenggam tangan keponakannya. Bersama-sama bergerak untuk mengapit pulpen tersebut.
Setelah beberapa kali mencoba, Inara mulai melepaskan tangannya secara perlahan. Ia pun langsung tersenyum lega, saat pulpen itu berhasil Dana pegang. Syaraf tangannya sudah membaik, meski belum sempurna, setidaknya ini sudah cukup untuk modalnya mengikuti pertandingan.
Mereka pun akhirnya tiba di lokasi. Mang Adi memilih parkiran di area belakang, area yang paling dekat dengan ruangan tempat Dana bertanding. Hal ini dilakukan agar Dana nantinya tak terlalu jauh berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐀𝐍𝐀𝐃𝐘𝐀𝐊𝐒𝐀 [✓]
Teen FictionPernah merasakan bagaimana rasanya diabaikan? Tidak dianggap ada, atau semacamnya? Pernah melakukan sesuatu yang sudah sangat sesuai dengan apa yang didambakan seseorang, namun tetap tak dipandang olehnya? Jika pernah, itu artinya kita sama. Lelah...