Bercak jingga mulai menyapa bumi, datang bersama dengan hilir angin yang menyejukkan badan. Desirnya dengan lembut menerpa kepada setiap wajah, yang saat itu memilih untuk tetap membuka kaca helm demi menikmati pemandangan indah di penghujung senja.
Dana pulang sendiri dengan motornya, membelah jalanan yang setiap sore luar biasa sesak oleh keramaian. Lelaki itu kali ini tidak dijemput, karena ia hanya membutuhkan bantuan supir saat ada acara atau pertandingan seperti kemarin. Alasannya, agar tidak repot bolak-balik ke sekolah untuk mengambil motor. Mengingat jika ada pertandingan, seluruh peserta akan dibawa dengan bus sekolah. Bukan menggunakan kendaraan pribadi.
Sekilas Dana juga melirik arloji yang melingkar di tangannya. Sekarang sudah pukul lima lewat sekian, sisa beberapa menit lagi untuk memasuki waktu magrib di wilayah Jakarta.
Waktu yang sangat singkat, untuknya beristirahat sebelum akhirnya harus kembali menjalani rutinitas les tambahan hingga jam sepuluh malam.
Dituntut menjadi anak yang pintar, nyaris harus sempurna, membuat orang tua Dana mendaftarkannya di banyak kelas tambahan. Sebagai putra tunggal, ia juga menjadi harapan besar sebagai penerus NZ Company. Tak heran, jika otaknya harus dipaksa untuk encer.
Perusahaan megah yang tadinya ia sebutkan adalah sebuah perusahaan batu bara yang sudah cukup terkenal di kalangan masyarakat disana. Keluarga ayahnya, merupakan pemilik resmi dari perusahaan yang berpusat di China itu. Dan ayahnya sendiri, merupakan CEO yang saat ini menjabat disana.
Beralih dari beberapa pikiran yang menemani perjalanannya, kini Dana sudah tiba di rumah. Lelaki itu langsung memasukkan motornya ke dalam garasi dan bergegas naik ke lantai dua untuk mandi dan siap-siap menunaikan shalat magrib. Ia tak sempat menyapa siapapun saat itu.
Tak ada yang berubah dari keadaan rumahnya, sepi, senyap seperti biasa. Kedua orang tuanya selalu disibukkan oleh pekerjaan, membuat mereka begitu jarang pulang.
Saat Dana sudah berangkat sekolah, rumah ini hanya diisi oleh ART, supir, serta dua orang satpam yang memang bekerja disana. Hanya merekalah, sedikit sumber suara yang bisa melengkapi interaksi Dana. Yang bisa Dana ajak bicara meski tidak sesering yang diharapkan. Setidaknya, cukup untuk membuat orang-orang tak mengira bahwa ini hanya rumah kosong belaka.
"Mas Dana, makan dulu!" Itu suara Bi Ima, seorang ART yang tadi ia sebutkan. Wanita paruh baya itu memang tinggal bersama mereka. Ia tampak menyambut Dana dengan ramah ketika lelaki itu turun ke bawah setelah selesai dengan kewajibannya tadi.
Dana tersenyum, lantas mengangguk mengiyakan. Ia berjalan perlahan menuju meja makan, menyenderkan tasnya di salah satu kaki meja sebelum menarik sebuah kursi disana.
Banyak makanan yang sudah dihidangkan di atas meja. Yang sudah pasti, tak akan bisa Dana habiskan semuanya. Dana kadang heran, untuk apa Bi Ima masak terlalu banyak, mengingat Dana kadang makan kadang tidak. Makan sehari sekali saja, sudah cukup baik baginya.
"Mang Adi mana, Bi?" Tanya Dana sembari menyendokkan nasi ke piringnya.
"Sudah di depan, Mas. Lagi nyiapin mobil buat nganterin Mas." Bi Ima tersenyum, ia masih disana, mempersiapkan minuman untuk Dana.
"Beliau udah makan?"
"Sudah, Mas."
"Bibi sudah?" Dana masih belum menghentikan pertanyaannya, meski beberapa suap nasi sudah memasuki mulutnya.
"Sudah juga, Mas." Dan akhirnya, Dana pun mengangguk.
Hening sesaat menyelimuti, hanya terdengar beberapa denting dari piring dan sendok yang digunakan Dana. Dari jarak yang tak terlalu jauh, Ima tampak memperhatikan Dana dengan seksama. Melihat sosok putra tunggal dari majikannya itu dengan sedikit nanar.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐀𝐍𝐀𝐃𝐘𝐀𝐊𝐒𝐀 [✓]
Teen FictionPernah merasakan bagaimana rasanya diabaikan? Tidak dianggap ada, atau semacamnya? Pernah melakukan sesuatu yang sudah sangat sesuai dengan apa yang didambakan seseorang, namun tetap tak dipandang olehnya? Jika pernah, itu artinya kita sama. Lelah...