Setelah menempuh perjalanan selama beberapa jam, Dana akhirnya tiba di Jakarta sekitar pukul dua belas dini hari. Ia beserta dengan sang Coach berangkat pada malam Jum'at dan mendarat dengan selamat di awal harinya. Dari sekian banyak penerbangan, mereka harus mendapatkan jadwal yang terakhir.
Dana dijemput langsung oleh Inara dan Faizan ke bandara, mereka juga sempat berbincang-bincang dengan Coach Iwan terkait kondisi Dana sekarang. Beliau secara tegas mempertanyakan, apakah Dana memang memiliki masalah serius terkait kesehatannya, tapi tentu saja, Inara belum bisa menjawab hal itu secara pasti, karena tidak ada hasil medis yang mendukung. Inara hanya menyampaikan bahwa belakangan kesehatan Dana memang sedang menurun.
Di waktu itu, saat Dana baru kembali ke daerah asalnya, semua masih tampak baik-baik saja. Kekhawatiran Inara pun bisa sirna seketika saat melihat anak itu tertawa dan bertingkah aktif seperti biasanya. Banyaknya ocehan yang keluar dari mulut Dana membuat Inara sepintas yakin bahwa kondisinya sudah membaik, jauh dari apa yang diperkirakan.
Hal ini tentu membuat Inara mengurungkan niatnya untuk mengajak Dana melanjutkan perawatan disini. Ia rasa, cukuplah dengan istirahat di rumah saja.
Tapi takdir ke depannya memang tidak bisa diprediksi. Semua yang telah dianggap baik-baik saja ternyata langsung berubah saat pagi menyapa mereka. Tepat ketika Inara masuk ke kamar Dana untuk memastikan anak itu sudah bangun atau belum.
Namun apa yang dilihatnya? Sebuah kenyataan buruk yang mampu mengembalikan ketakutannya. Saat kondisi Dana dipastikan menurun drastis. Terbukti dengan suhu badannya yang semakin tinggi, pun dengan badannya yang sudah sangat lemas. Bahkan, Dana tak lagi memberi respon apa pun ketika Inara menyentuh atau memanggilnya.
Deru nafasnya yang terdengar pelan, dan mata yang masih sedikit terbuka membuat Faizan menyimpulkan bahwa Dana masih mempertahankan kesadarannya.
Tanpa membuang waktu lagi, Faizan langsung membopong tubuh Dana sendirian, membawanya ke dalam mobil dan langsung menuju ke rumah sakit.
Di pagi buta itu, IGD yang masih sepi langsung disibukkan dengan kehadiran mereka. Beberapa perawat yang bertugas langsung berlari menghampiri, mengerahkan segenap kemampuan mereka meski tanpa seorang dokter pun yang mendampingi.
Situasi berangsur kondusif, saat penanganan mulai berhasil dan tingkat kesadarannya membaik. Dana sudah bisa merespon ketika dipanggil, membuat kelegaan menghampiri mereka semua.
Berbicara tentang kondisi selengkapnya, belum ada perubahan yang ditunjukkan bahkan setelah dua hari ia dirawat di rumah sakit ini. Tidak seperti biasanya, Dana masih terlampau lemas meski sudah diberi penanganan sedemikian rupa. Berbagai jenis obat sudah dikonsumsi, namun seperti tak memberi efek apa pun bagi dirinya.
Tubuh Dana mengalami banyak perubahan, beberapa bagiannya bahkan terkesan kaku ketika digerakkan. Seperti tangannya yang masih saja gemetar, dan kakinya yang seolah tak bertulang, karena untuk berjalan sedikit saja, ia harus dipapah.
Ini sudah hari minggu, sudah sampai kekhawatiran Inara pada puncaknya. Karena satu hal yang sangat memenuhi pikirannya, yakni pertandingan olimpiade yang akan dilaksanakan besok. Dengan keadaan begini, bukankah sudah seharusnya, Dana mengundurkan diri saja?
"Jangan, Bunda. Pihak sekolah juga susah nyari pengganti di H-1 kayak gini," ujar Dana pelan saat topik itu mulai dibahaskan kepadanya. Meski sudah selemah ini, tekadnya untuk bertanding tetap tidak berkurang. Hasratnya untuk membela Adinata tetap berkobar dalam jiwa.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐀𝐍𝐀𝐃𝐘𝐀𝐊𝐒𝐀 [✓]
Teen FictionPernah merasakan bagaimana rasanya diabaikan? Tidak dianggap ada, atau semacamnya? Pernah melakukan sesuatu yang sudah sangat sesuai dengan apa yang didambakan seseorang, namun tetap tak dipandang olehnya? Jika pernah, itu artinya kita sama. Lelah...